Kedua tauhid Uluhiyah, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah dengan tidak menyembah sesuatu dan mendekat kepadanya seperti menyembah Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Tauhid seperti inilah yang menjadikan orang-orang musyrik itu sesat, sehingga mereka diperangi Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam; darah, harta, tanah, dan rumah mereka halal, wanita-wanita dan anak-anak mereka ditawan
Jakarta Apa itu tauhid perlu dipahami oleh setiap Muslim. Pasalnya, hal ini berkaitan dengan sifat keesaan Allah SWT, yaitu mengimani bahwa Allah SWT itu satu dan merupakan Dzat yang memiliki segala kesempurnaan, tidak ada satu pun yang bisa menggantikannya. Tauhid merupakan akidah bawaan manusia, di mana Allah SWT telah menciptakan manusia memiliki fitrah beriman kepada-Nya dan mentauhidkan-Nya. Tidak ada yang berhak disembah selain Allah SWT, dan tiada Tuhan selain Allah SWT. Apa itu tauhid dipelajari sebagai ilmu akidah. Hal ini bertujuan untuk membuka wawasan umat Muslim tentang cara meningkatkan keimanan dalam beragama. Berikut rangkum dari berbagai sumber, Rabu 10/11/2021 tentang apa itu Tauhid menurut cendikiawan muslim ini adalah mengakui keesaann-Nya dengan mempelajari sifat-sifat Allah yang wajib, mustahil, dan yang bolehIlustrasi salat, Muslim, Islam. Foto oleh Monstera dari PexelsApa itu tauhid sudah sepatutnya kita sebagai umat Islam pahami. Secara bahasa, tauhid berarti menyatukan, menjadikan satu, atau menyifati dengan kesatuan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, apa itu tauhid dimaknai sebagai mengimani bahwa Allah SWT itu satu dan merupakan Dzat yang memiliki segala kesempurnaan, tidak ada satu pun yang bisa menggantikannya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, apa itu tauhid adalah keesaan Allah SWT. Apa itu tauhid juga dapahami sebagai sikap meyakini bahwa Allah SWT Maha Suci, yang tidak memiliki kekurangan sedikit pun, seperti yang dimiliki oleh makhluk hidup ciptaannya. Apa itu tauhid juga berarti meyakini kebenaran seluruh ajaran Allah SWT yang diturunkan dan disebarkan oleh para Rasul-Nya. Di samping itu, orang yang mampu menerapkan apa itu tauhid dengan baik dalam kehidupan, maka akan menjadi individu yang ikhlas dalam menerima setiap ketentuan Allah SWT. Dalam ajaran Islam, apa itu tauhid berkaitan dengan sifat keesaan Allah SWT, bahwa Allah itu satu. Setiap Muslim mempercayai bahwa tiada Tuhan selain Allah, Sang Pencipta semesta alam dan segala isinya yang memiliki semua sifat kesempurnaan. Selain meyakini sifat keesaan dan kesempurnaan Allah, orang yang mempelajari dan menerapkan apa itu tauhid juga meyakini kebenaran setiap ajaran Rasul. Bahwa Rasul merupakan manusia utusan Allah SWT yang diberikan pengetahuan dan pelajaran agar dapat disebarluaskan kepada seluruh umat. Dengan begitu, meyakini kebenaran pengetahuan yang diajarkan Rasul, berarti sudah meyakini keberadaan Allah SWT dan ajaran yang berasal dari-Nya. Ilmu tauhid juga disebut sebagai ilmu ushul dasar agama atau ilmu akidah. Artinya, ilmu ini menjadi bekal pedoman bagi seluruh umat Islam dalam melakukan kewajibannya sebagai umat TauhidIlustrasi Muslimah Credit ibnu Taimiyah, apa itu tauhid dijabarkan menjadi 3 bagian, yaitu Rububiyah, Uluhiyah, dan Asma wa sifat. Berikut penjelasannya Rububiyah Beriman bahwa hanya Allah satu-satunya Rabb yang memiliki, merencanakan, menciptakan, mengatur, memelihara, memberi rezeki, memberikan manfaat, menolak mudharat serta menjaga seluruh Alam Semesta. Sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an yang berbunyi “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” Az-Zumar 3962. Hal yang seperti ini diakui oleh seluruh manusia, tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Namun pengakuan seseorang terhadap Rububiyah ini tidaklah menjadikan seseorang beragama Islam, karena sesungguhnya orang-orang musyrikin Quraisy yang diperangi rasulullah mengakui dan meyakini jenis tauhid ini. Sebagaimana firman Allah, “Katakanlah Siapakah Yang memiliki langit yang tujuh dan Yang memiliki Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab Kepunyaan Allah.’ Katakanlah Maka apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari -Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab Kepunyaan Allah.’ Katakanlah Maka dari jalan manakah kamu ditipu?'” Al-Mu’minun 86-89 Uluhiyah Uluhiyah dapat diartikan sebagai mentauhidkan atau mengesakan Allah dari segala bentuk peribadahan baik yang dzohir terlihat maupun batin. Itu artinya kamu beriman bahwa hanya Allah SWT semata yang berhak disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya. “Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia yang Mahaperkasa lagi Maha Bijaksana.” 'Al 'Imran 318 Beriman terhadap uluhiyah Allah merupakan konsekuensi dari keimanan terhadap rububiyah-Nya. Hal ini berarti mengesakan Allah SWT dalam segala macam ibadah yang kamu lakukan, seperti salat, doa, nazar, menyembelih, tawakkal, taubat, harap, cinta, takut ,dan berbagai macam ibadah lainnya. Di mana kamu harus memaksudkan tujuan dari semua ibadah tersebut hanya kepada Allah SWT semata. Tauhid inilah yang merupakan inti dakwah para rasul dan merupakan tauhid yang diingkari oleh kaum musyrikin Quraisy. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah mengenai perkataan mereka itu “Mengapa ia menjadikan sesembahan-sesembahan itu Sesembahan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” Shaad 385 Dalam ayat ini kaum musyrikin Quraisy mengingkari jika tujuan dari berbagai macam ibadah hanya ditujukan untuk Allah semata. Oleh karena pengingkaran inilah maka mereka dikafirkan oleh Allah dan rasul-Nya walaupun mereka mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta alam semesta. Asma Wa Sifat Beriman bahwa Allah SWT memiliki nama dan sifat baik asmaul husna yang sesuai dengan keagungan-Nya yang telah Allah SWT tetapkan di Al-Qur’an dan As-sunah. Dalam bertauhid kepada asma wa sifat ini jangan dilakukan dengan adanya tahrif penyelewengan, ta'thil penolakan dan takyif penggambaran, dan tasybih penyerupaan. Umat Islam sendiri, mengenal 99 asma'ul husna yang merupakan nama sekaligus sifat Allah SWT yang wajib diimani. Imam Syafi’i meletakkan kaidah dasar ketika berbicara tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagai berikut “Aku beriman kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Allah dan sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah. Aku beriman kepada Rasulullah dan apa-apa yang datang dari Rasulullah sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Rasulullah.”Keutamaan Mempelajari TauhidMasjid sebagai tempat beribadah umat islam sumber PixabayDikatakan, bahwa mempelajari ilmu tauhid penting untuk memahami kedudukan makhluk hidup dan pengaruhnya pada dunia. Seperti memahami mukjizat para nabi, ajaran yang bijak dan bermakna dari para wali, serta kesenangan yang Allah berikan kepada umat yang auh dari-nya sebagai bentuk ujian atau cobaan. Sehingga melalui ilmu tauhid, dapat digunakan sebagai pedoman untuk membedakan hal yang termasuk aqidah dan mana yang bukan. Selain itu, keutamaan mempelajari dan menerapkan tauhid dalam kehidupan sehari-hari juga dapat menjauhkan diri dari kemusyrikan, mendudukkan soal wasilah, mendudukan soal khilafah atau politik dalam agama Islam. Dengan begitu, ilmu tauhid dapat menjadi pedoman bagi setiap umat muslim dalam menjalankan kehidupan agar terhindari dari pikiran buruk atau su’uzhan terhadap Allah SWT. * Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Ajarkantentang 3 kategori tauhid. Tahapan selanjutnya adalah mengenalkan 3 kategori tauhid, antara lain: Tauhid Rububiyah; Tauhid Uluhiyah; Asma' wa sifat; Mengajari anak tentang 3 kategori tauhid ini adalah cara termudah untuk membantu anak memahami siapa Allah swt. Yang perlu diingat bahwa mengajari 3 aspek ini tidak harus dengan

أَدِلَّةُ تَوْحِيْدِ الرُّبُوْبِيَّةِ Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA. Pada pembahasan ini kita membagi pendalilan menjadi dua model Pertama أَدِلَّةُ وُجُوْدِ الْخَالِقِ Dalil-dalil yang menunjukan adanya Rabb pencipta Kedua أَدِلَّةُ تَوْحِيْدِ الرُّبُوْبِيَّةِDalil-dalil yang menunjukan bahwa Rabb itu esa dalam rububiyyah-nya yaitu tauhid Rububiyyah أَدِلَّةُ وُجُوْدِ الْخَالِقِ Pertama Dalil-dalil Adanya Pencipta Adanya Tuhan Sang Pencipta ditunjukan oleh 1 dalil fitrah dan 2 dalil akal terhadap ayat-ayat Allah, yaitu ciptaan-ciptaan Allah yang dahsyat dan menakjubkan sebagai tanda-tanda keagungan dan eksistensi penciptanya bagi mereka yang berpikir.[1] Dalil Fitrah دَلِيْلُ الْفِطْرَةِ. Yang merupakan dalil utama adalah dalil fitrah yang telah Allah tanamkan dalam hati manusia. Allah berfirman فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” QS al-Rum 30 Nabi bersabda مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَا تُنْتَجُ البَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ، هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ “Tiada yang lahir melainkan terlahirkan di atas fitrah. Namun kedua orang tuanya menjadikannya sebagai Yahudi atau Nashrani atau Majusi. Sebagaimana hewan melahirkan anaknya secara sempurna, apakah kalian melihat padanya ada bagian yang terpotong?” [2] Fitrah itu dikuatkan lagi dengan perjanjian yang Allah ambil dari setiap manusia. Allah berfirman وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ آبَاؤُنَا مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِنْ بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ “Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka seraya berfirman Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab Betul Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi.’ Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan Sesungguhnya kami bani Adam adalah orang-orang yang lengah terhadap ini keesaan Tuhan.’ Atau agar kamu tidak mengatakan Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?’” QS al-A’raf 172-173 Meskipun kejadian ini sekarang dilupakan oleh manusia, namun efeknya masih ada, yaitu fitrah mereka meyakini adanya Tuhan yang esa. Bahkan, orang-orang yang menganggap tuhan lebih dari satu pun tetap menyatakan bahwa ada salah satu dari tuhan-tuhan tersebut yang lebih hebat. Atau, mereka menafsirkan tuhan yang berbilang tersebut dengan makna tuhan yang esa. Maksud dalil fitrah bukan berarti manusia sejak lahir sudah mengenal agama Islam. Sebab manusia dilahirkan dalam kondisi tidak mengetahui apapun. وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun.” QS al-Nahl 78 Namun, fitrahnya sudah siap untuk menerima agama Islam, tauhid, dan terlebih adanya Sang Pencipta. Fitrah tersebut berkonsekuensi mengakui Penciptanya, mencintai-Nya dan mengikhlaskan agama untuk-Nya. Konsekuensi dari fitrah tersebut akan ia raih secara bertahap berdasarkan kekuatan fitrahnya serta selamatnya fitrah tersebut dari pengotor-pengotor dan perusak-perusaknya.[3] Di antara perkara yang membuktikan adanya dalil fitrah Kita dapati bahwa pada asalnya manusia sejak zaman dahulu hingga sekarang di atas kepercayaan terhadap adanya Tuhan. Adapun kalangan ateis maka hanyalah minoritas dan muncul belakangan. Kita dapati di berbagai penjuru dunia, baik dari suku yang berbeda-beda, dan budaya yang berbeda-beda, lokasi yang berbeda-beda, serta generasi dan masa yang berbeda-beda, namun kita dapati umumnya ada tempat khusus yang digunakan untuk beribadah kepada Tuhan. Lebih besar kemungkinan kita mendapati suatu kota tanpa sekolah, atau tanpa pemerintahan, atau tanpa pasar, tanpa istana, dibandingkan dengan kota tanpa tempat ibadah. Kita dapati anak-anak begitu mudah untuk percaya adanya Tuhan. Kita tidak perlu repot-repot untuk mendoktrin mereka. Sebab hal tersebut merupakan konsekuensi fitrah mereka. Di antara hal yang menunjukan fitrah keyakinan adanya pencipta, kita dapati jika seseorang ateis dalam kondisi genting dan terdesak, maka fitrahnya mencari Tuhan untuk menyelamatkannya. Bagaimanapun ia sejatinya membutuhkan sandaran yang kukuh. Sebuah aforisme menyatakan “There are no atheists in foxholes.” Tidak ada ateis di dalam lubang perlindungan kondisi terdesak. Begitu pula halnya fitrah manusia tidak menerima jika disuruh menyembah hewan atau sesama manusia. Bukti-bukti Dalil Fitrah Ilmu-ilmu Dasar مَبَادِئُ الْعِلْمِ الضَّرُوْرِيَّةُ Ada ilmu-ilmu dasar yang seseorang mengetahuinya dengan sendirinya tanpa perlu pengamatan dan penelitian. Ilmu ada dua 1 ilmu yang dihasilkan melalui pengamatan dan 2 ilmu-ilmu dasar yang diketahui secara otomatis tanpa melalui pengamatan.[4] Contoh ilmu dasar tersebut seperti Akibat timbul karena sebab. Satu lebih sedikit daripada tiga. Yang lebih ringan dan lebih kecil lebih mudah diangkat daripada yang lebih berat dan lebih besar. Tidak mungkin tergabung dua hal yang Misalnya, tidak mungkin seseorang menggambar bulatan yang bersegi tiga, atau segitiga yang bersegi empat. Tidak mungkin seseorang naik dan sekaligus turun. Tidak mungkin sesuatu berstatus ada dan sekaligus tiada. Berangkat dari ilmu-ilmu dasar tersebut barulah seseorang bisa mendapatkan ilmu dari hasil pengamatan. Jika tanpa ilmu-ilmu dasar tersebut maka pengamatan tidak akan menghasilkan ilmu, karena tidak ada dasar pijakan untuk mengamati dan menilai. Ilmu-ilmu dasar inilah menunjukan adanya Pencipta karena sudah tertanam sejak awal pada akal manusia.[5] Nilai-nilai akhlak دَلِيْلُ الأَخْلاَقِ Manusia di seluruh dunia dengan berbagai perbedaan suku dan jenisnya, semuanya secara umum memiliki kecondongan untuk suka dan memuji sifat serta perbuatan yang baik, seperti kejujuran, kedermanan, suka menolong dan lain-lain. Sebaliknya, mereka juga secara umum benci dengan kejahatan dan kezaliman. Sekalipun mereka tidak pernah belajar secara khusus tentang hal-hal tersebut. Ini semua menunjukan adanya fitrah yang Allah tanamkan dalam hati mereka untuk memiliki insting mengenal kebaikan dan keburukan, serta mencintai kebaikan dan membenci keburukan. Kalangan ateis berusaha menolak kenyataan adanya “nilai” yang telah terpatri dalam jiwa setiap manusia, bahkan terpatri dalam jiwa para ateis tersebut. Mereka berusaha menipu diri mereka sendiri dengan menyatakan bahwa penilaian tersebut sekadar nisbi relatif belaka. [6] Sebagian mereka ada yang sampai mengatakan bahwa berhubungan seksual dengan mahram atau hewan itu boleh-boleh saja, tergantung penilaian masing-masing. Sifatnya relatif. Coba tanyakan kepadanya, “Bagaimana jika ada yang merampas hartamu, atau memperkosa putrimu, apakah engkau akan tetap bersikeras bahwa kejahatan semacam itu sifatnya relatif?!” Insting دَلِيْلُ الْغَرَائِزِ Insting serta naluri manusia dan hewan itu bermacam-macam. Di antaranya dalam hal ketertarikan kepada lawan jenis. Adanya ketertarikan antara hewan jantan terhadap hewan betina dari yang sejenisnya, meskipun ada dari jenis lain yang lebih indah. Ini semua menunjukan ada yang menanamkannya/memfitrahkannya kepada segenap makhluk, yaitu Sang Pencipta. Berikut ini adalah hal-hal yang menunjukkan eksistensi Sang Pencipta, sekaligus menjadi sanggahan bagi kalangan ateis Manusia laki-laki secara naluri umumnya bersyahwat kepada wanita. Yang menakjubkan, seorang lelaki tidak bersyahwat kepada ibu kandung atau saudarinya, tidak sebagaimana kepada para wanita lainnya, sekalipun ibu dan saudarinya tersebut fisiknya lebih menarik. Siapakah yang menjadikan ini semuanya? Tentu Pencipta. Seorang bayi yang baru lahir, ketika ditempelkan mulutnya ke puting susu ibunya maka ia langsung menyedot air susu ibunya. Siapakah yang mengajari sang bayi tersebut? Seandainya seluruh profesor di dunia ini berkumpul untuk mengajari sesuatu yang sederhana kepada bayi yang baru lahir itu maka mereka tidak akan mampu. Siapakah yang mengajari burung-burung untuk terbang jauh pada waktu tertentu menuju tempat tertentu? Siapa yang mengajari hewan-hewan untuk bertahan hidup? Kenapa mereka tidak memilih mati saja agar lepas dari penat kehidupan? Siapa yang mengajari kecintaan yang luar biasa pada seorang ibu terhadap anaknya? Seorang ibu bisa begitu bersabar mengandung anaknya selama sembilan bulan, bersabar bertarung dengan kematian tatkala melahirkan, bersabar dalam merawat sang anak hingga dewasa. Lihatlah rahmat yang ada di antara makhluk, bahkan di kalangan hewan yang buas. Siapa yang telah menjadikan seekor singa betina yang begitu buas ternyata begitu rahmat dan sayang kepada anaknya? Nabi bersabda جَعَلَ اللَّهُ الرَّحْمَةَ مِائَةَ جُزْءٍ، فَأَمْسَكَ عِنْدَهُ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ جُزْءًا، وَأَنْزَلَ فِي الأَرْضِ جُزْءًا وَاحِدًا، فَمِنْ ذَلِكَ الجُزْءِ يَتَرَاحَمُ الخَلْقُ، حَتَّى تَرْفَعَ الفَرَسُ حَافِرَهَا عَنْ وَلَدِهَا، خَشْيَةَ أَنْ تُصِيبَهُ “Allah menjadikan rahmat ciptaanNya 100 bagian. Allah menahan 99 bagian, dan Allah turunkan 1 bagian di bumi. Dari 1 bagian inilah para makhluk saling merahmati, hingga seekor kuda mengangkat kakinya dari anaknya, agar tidak menginjaknya.” [7] Semua insting ini telah Allah ciptakan dan fitrahkan kepada para makhluknya. Ketika Fir’aun bertanya kepada Nabi Musa dan Harun álaihimas salam, فَمَنْ رَبُّكُمَا يَا مُوسَى “Siapakah tuhan kalian berdua wahai Musa?” Nabi Musa álaihis salam berkata رَبُّنَا الَّذِي أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى “Tuhan kami adalah yang memberikan bentuk kejadian kepada segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.” QS Thaha 50 Di antara petunjuk tersebut adalah insting yang Allah tanamkan kepada para makhluk agar bisa menjalankan kehidupannya. Ibnul-Jauzi berkata tentang firman Allah ثُمَّ هَدَى “Kemudian memberinya petunjuk” ثَلَاَثَة أَقْوَالٍ أَحَدُهَا هَدَى كَيْفَ يَأْتِي الذَّكَرُ الأُنْثَى… وَالثَّانِي هَدَى لِلْمَنْكَحْ وَالْمَطْعَمِ وَالْمَسْكَنِ، .. وَالثَّالِثُ هَدَى كُلَّ شَيْءٍ إِلَى مَعِيْشَتِهِ “Ada tiga pendapat dalam hal ini. Pertama Allah memberi insting petunjuk bagaimana jantan mendatangi/mengawini betina…, Kedua Allah memberi petunjuk untuk kawin, mencari makan, dan mencari tempat tinggal…. Ketiga Allah memberi petunjuk kepada segala makhluk untuk mencari rezekinya.” [8] Allah juga berfirman وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ، ثُمَّ كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًا “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia, kemudian makanlah dari tiap-tiap macam buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan bagimu.’” QS al-Nahl 68-69 Dalil-dalil Akal الدَّلاَئِلُ الْعَقْلِيَّةُ terhadap Ayat-ayat Allah Dalil-dalil dimaksud disebutkan dalam al-Quran dengan الآيَاتُ ayat-ayat Allah tanda-tanda kebesaran Allah. Yaitu, dengan menggunakan akal, ketika menyaksikan ciptaan-ciptaan Allah maka akal akan menunjukan adanya Allah, bahkan sekaligus keagungan Allah.[9] Selain dengan dalil fitrah, adanya Allah juga bisa diketahui dengan dalil akal. Sebagian orang bisa saja dengan fitrahnya mengakui adanya Allah, akan tetapi akalnya menolak hal tersebut, karena terkena begitu banyaknya syubhat. Banyak dalil akal yang menunjukan adanya Allah. Namun secara umum dalil-dalil akal selalu dibangun dengan “ilmu-ilmu dasar” yang tidak bisa ditolak, seperti ilmu dasar “sebab akibat” dan ilmu dasar التَّرْجِيْحُ بِغَيْرِ مُرَجِّحٍ لاَ يُمْكِنُ “tidaklah mungkin merajihkan sesuatu tanpa sebab.” Sifat dalil-dalil akal yang ditunjukan oleh al-Quran umumnya simpel dan mudah dipahami siapapun, serta tidak menggunakan premis-premis yang panjang, rumit dan bertele-tele. Secara umum, “sesuatu yang ada” itu terdiri dari dua jenis ada yang bisa dilihat langsung dan ada yang tidak kelihatan gaib. Adapun yang kelihatan maka keberadaanya bisa diketahui dengan melihatnya secara langsung. Adapun yang tidak kelihatan gaib maka keberadaannya bisa diketahui dengan cara “dikabarkan/diberitahu” oleh orang yang melihatnya atau dengan atsar/dampak dari keberadaan sesuatu yang gaib tersebut دَلِيْلُ الأَثَرِ عَلَى المُؤَثِّرِ Adapun dalil pengabaran maka hanya bisa diterima oleh orang-orang yang agamais, karena pengabaran tersebut datang dari para Rasul yang menyebutkan bahwa Pencipta itu ada. Para agamais percaya dengan kejujuran dan kebenaran para Rasul. Sementara non agamais belum mau menerima dalil pengabaran. Mereka hanya bisa diajak diskusi dengan dalil “dampak keberadaan sesuatu yang gaib tersebut.” Di antara dalil-dalil akal yang menunjukan adanya Allah dengan melihat “dampak keberadaan Allah” adalah Pertama Dalil penciptaan دَلِيْلُ الْإِيْجَادِ وَالْخَلْقِ[10] Alam semesta terdiri atas dua jenis makhluk. Pertama Yang bisa dilihat dengan langsung oleh manusia huduts-nya kemunculannya, yaitu makhluk-makhluk tersebut dulunya tidak ada, lalu ada, lalu sirna. Hal ini seperti hewan, tumbuhan, dan manusia itu sendiri. Kedua Yang tidak bisa dilihat langsung oleh manusia kemunculannya, seperti langit, bintang, bulan dan matahari. Namun dengan mengiaskannya menganalogikannya dengan makhluk-makhluk jenis pertama tersebut, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa seluruh jenis makhluk mengalami huduts “dari tidak ada menjadi ada”. Di antara menguatkan analogi itu adalah, bahwa benda-benda langit tersebut selalu beredar secara teratur dan tidak pernah keluar dari aturannya. Ini menunjukkan bahwa benda-benda langit terebut diatur dan diadakan. Segala sesuatu yang diatur pasti ada yang mengaturnya.[11] Kenyataan itu, jika ditinjau berdasarkan “ilmu-ilmu dasar”, yaitu segala sesuatu akibat pasti ada sebabnya, maka kesimpulannya adalah, bahwa tidak mungkin ada huduts kemunculan, kejadian dari tiada menjadi ada, melainkan ada muhdits “yang menjadikan/mengadakan”, yaitu Sang Pencipta.[12] Di antara bukti penguat akan argumentasi ini adalah, manusia tidak mampu untuk menciptakan seperti ciptaan Allah. Allah memang menjadikan manusia mampu untuk membuat makanan, mobil, pesawat dan lain-lain, namun itu sekadar mengubah bentuk dari yang sebelumnya sudah ada menjadi bentuk yang lain. Manusia tidak mampu untuk menciptakan bahan-bahan dari hal-hal di atas, misalnya ikan dan biji-bijian untuk pembuatan makanan, begitu pula misalnya bahan besi, alumunium dan baja, untuk pembuatan mobil dan pesawat. Kedua Dalil “perhatian dan keselarasan” دَلِيْلُ الْعِنَايَةِ Maksud dari dalil ini adalah tentang apa yang kita lihat dari perhatian Allah terhadap ciptaanNya, terutama manusia. Kita melihat keselarasan antara alam semesta dengan kondisi manusia. Begitu pula keselarasan antara makhluk yang satu dengan yang lainnya. Semua itu tidak mungkin terjadi kecuali ada yang memberi perhatian dan menciptakan keselarasan tersebut. Contohnya pada alam semesta ada malam dan siang, matahari dan rembulan, musim-musim, hujan, sungai, laut, hewan-hewan yang mudah dikonsumsi serta dipelihara, dan seterusnya, yang semua itu ternyata selaras dengan kondisi manusia. Ibnu Rusyd memberi gambaran tentang dalil ini, beliau berkata “Jika seseorang melihat kepada sesuatu yang riil. Ternyata ia telah diletakan dengan bentuk tertentu, ukuran tertentu, pas dengan manfaat yang diperlukan, sesuai dengan tujuan yang diharapkan -yang sekiranya tidak diletakkan dengan kondisi demikian atau diubah kondisinya niscaya tidak akan tercapai manfaat yang diharapkan- maka tentu orang itu meyakini bahwa semua kondisi, ukuran, dan bentuk tersebut tidak mungkin terjadi dengan tiba-tiba dan dengan sendirinya. Contohnya seseorang melihat sebuah batu yang ada di atas tanah. Ternyata batu tersebut dalam bentuk spesifik yang bisa dijadikan tempat duduk. Ternyata batu itu dibentuk dengan posisi dan ukuran tertentu. Tentu orang itu yakin bahwa batu tersebut ada yang membuat, yang ia telah membentuk batu tersebut dengan ukurannya dan diletakkan pada posisi yang pas. Lain halnya jika ia mendapati sebuah batu terlempar di tanah tanpa ada bentuk, ukuran dan posisi tertentu, maka ia bisa memastikan bahwa keberadaan batu tersebut hanyalah kebetulan tanpa direncanakan dan tanpa ada yang membuatnya. Demikian juga halnya dengan alam semesta. Amatilah isi alam semesta, seperti matahari, rembulan, dan seluruh benda-benda langit, yang merupakan sebab terjadinya 4 musim, sebab adanya siang dan malam, sebab adanya hujan, air, dan angin, juga merupakan sebab ditempatinya sebagian lokasi bumi, baik oleh manusia maupun makhluk-makhluk hidup lainnya. Begitu pula kondisi bumi yang selaras dengan penghuninya, baik manusia maupun seluruh hewan darat. Demikian juga sungai dan laut yang selaras dengan hewan-hewan dan tumbuhan-tumbuhan air. Juga udara yang cocok untuk hewan-hewan terbang -dimana jika salah satu dari rangkaian ini rusak maka tidak akan ada makhluk-makhluk yang bisa hidup- maka dengan demikian seorang bisa memastikan bahwa semua keselarasan itu tidak mungkin terjadi dengan sendirinya atau kebetulan. Namun semua keselarasan tersebut pasti ada yang membuatnya dan memberi perhatian kepadanya. Tidak mungkin itu terjadi tanpa ada yang membuatnya.”[13] Allah berfirman أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ مِهَادًا، وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا، وَخَلَقْنَاكُمْ أَزْوَاجًا، وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا، وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا، وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا، وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًا، وَجَعَلْنَا سِرَاجًا وَهَّاجًا، وَأَنْزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا، لِنُخْرِجَ بِهِ حَبًّا وَنَبَاتً، وَجَنَّاتٍ أَلْفَافًا “Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? Dan gunung-gunung sebagai pasak? Dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan, dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, dan Kami jadikan malam sebagai pakaian, dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan, dan Kami bina di atas kamu tujuh buah langit yang kukuh, dan Kami jadikan pelita yang amat terang matahari, dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah, supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, dan kebun-kebun yang lebat.” QS al-Naba` 6-16 Ketiga Dalil kesempurnaan ciptaan Allah دَلِيْلُ الْإِتْقَانِ وَالْإِحْكَامِ Sebenarnya ini adalah cabang dari dalil sebelumnya dalil al-inayah. Sebab di antara sisi pendalilan dalil al-inayah adalah keselarasan masing-masing makhluk tersebut secara sempurna. Namun di sini disebutkan secara terpisah pendalilannya agar lebih jelas. Seluruh ciptaan Allah dalam kondisi sempurna. Allah berfirman الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا ۖ مَّا تَرَىٰ فِي خَلْقِ الرَّحْمَٰنِ مِن تَفَاوُتٍ ۖ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَىٰ مِن فُطُورٍ “Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Allah Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?” QS al-Mulk 3 Adapun firman Allah tersebut, مَّا تَرَىٰ فِي خَلْقِ الرَّحْمَٰنِ مِن تَفَاوُتٍ “Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Allah Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang,” maka terdapat dua penafsiran yang datang dari para salaf tentang apa yang dimaksud dengan “melihat pada ciptaan Allah”. Tafsiran pertama, maksudnya adalah ciptaan Allah secara umum. Artinya semua ciptaan Allah sempurna dan seimbang. Apa saja yang kita lihat segalanya tampak sempurna, Allah menciptakan segalanya sempurna sesuai dengan porsinya masing-masing. Tidak ada yang aneh pada masing-masing ciptaan Allah. Manusia dengan bentuknya yang sempurna, gunung-gunung dengan bentuknya yang sempurna, laut dengan kesempurnaannya, pepohonan yang rindang, hewan-hewan dengan bentuknya yang khas, dan seterusnya. Semuanya diciptakan sesuai porsinya masing-masing. Tafsiran kedua, maksudnya adalah melihat langit secara spesifik. Allah menciptakan langit dengan begitu kukuh, bersusun dan banyak benda-benda yang diletakkan di langit. Itu semua Allah ciptakan dengan sempurna dan kita tidak melihat ada keganjilan atau keanehan dalam ciptaan-ciptaan Allah. [14] Kemudian Allah berfirman, فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَىٰ مِن فُطُورٍ “Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?” Penggalan ayat ini dijadikan dalil untuk menguatkan pendapat sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan ciptaan Allah dalam ayat ini adalah langit. Meskipun demikian, kedua tafsiran di atas benar. Baik itu langit atau ciptaan Allah yang lain -secara umum- maka semuanya sempurna dan tidak ada cacat. Karena hukum asal khilaf dalam Ilmu Tafsir adalah khilaf tanawwu’ khilaf yang tidak bertentangan suatu pendapat dengan pendapat yang lain. Allah juga berfirman صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ “Begitulah perbuatan Allah yang membuat dengan kukuh tiap-tiap sesuatu.” QS al-Naml 88 الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya.” QS al-Sajdah 7 Oleh karenanya Allah menciptakan segala sesuatu dengan kadar dan ukurannya. Allah berfirman إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” QS al-Qamar 49 وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا “Dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” QS al-Furqon 2 وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِمِقْدَارٍ “Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya.” QS al-Ra’d 8 قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا “Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” QS al-Thalaq 3 Lihatlah bagaimana hewan lalat yang begitu sempurna penciptaannya, tidak ada kekurangan sama sekali. Allah berfirman يَا أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ ۚ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ لَن يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ ۖ وَإِن يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لَّا يَسْتَنقِذُوهُ مِنْهُ ۚ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ “Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah pulalah yang disembah.” QS al-Hajj 73 Lihat pula langit yang begitu kukuh tegak tanpa tiang dan tidak berlubang sama sekali. Lihat pula manusia, bagaimana begitu sempurna penciptaannya. Pada organ-organ tubuh manusia sungguh terlalu banyak keajaiban. Allah berfirman وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ “Dan juga pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan.” QS al-Dzariyat 21 Lihatlah saraf mata menuju otak yang jumlahnya demikian banyak. Saraf tersebut ibarat kabel-kebel yang menghantarkan apa yang dilihat oleh mata untuk dicerna oleh otak. Masing-masing saraf tersebut memiliki fungsi yang berbeda, ada saraf untuk warna-warna tertentu dan saraf untuk bentuk-bentuk tertentu. Jika ada sebagian saraf yang bermasalah ibarat seperti ada kabel yang bermasalah sehingga gambar yang dihasilkan tidak sempurna. Tentu tidak sangat logis jika menyatakan bahwa semua kesempurnaan pada makhluk terjadi dengan sendirinya dan kebetulan. Mungkin masih masuk akal kalau kebetulan itu terjadi pada satu atau dua item saja, dari sekian puluh ribu item. Namun kalau ribuan item, bahkan seluruh item itu sempurna, maka itu menunjukkan adanya pencipta secara pasti. Keempat Dalil pengaturan دَلِيْلُ التَّسْخِيْرِ وَالتَّدْبِيْرِ Ini juga sejatinya masih merupakan bagian dari dalil al-inayah, yang kemudian disebutkan secara spesifik agar lebih jelas pendalilannya. Sisi pendalilannya adalah Tunduknya alam semesta dengan aturan-aturan alam yang disebut dengan al-sunan al-kauniyyah, dan sama sekali tidak bisa keluar dari aturan-aturan tersebut menunjukan adanya Pencipta yang membuat dan menjalankan aturan-aturan alam tersebut. Amatilah pergerakan matahari, bulan dan bintang-bintang di langit yang senantiasa konsisten dari sejak dahulu kala. Allah berfirman وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ “Dan diciptakan-Nya pula matahari, bulan dan bintang-bintang masing-masing tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” QS al-A’raf 54 وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمًّى يُدَبِّرُ الْأَمْرَ “Dan Allah menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan makhluk-Nya.” QS al-Ra’d 2 وَسَخَّرَ لَكُمُ الْفُلْكَ لِتَجْرِيَ فِي الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ وَسَخَّرَ لَكُمُ الْأَنْهَارَ، وَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ دَائِبَيْنِ وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ “Dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan pula bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan pula bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar dalam orbitnya; dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.” QS Ibrahim 32-33 وَذَلَّلْنَاهَا لَهُمْ فَمِنْهَا رَكُوبُهُمْ وَمِنْهَا يَأْكُلُونَ، وَلَهُمْ فِيهَا مَنَافِعُ وَمَشَارِبُ أَفَلَا يَشْكُرُونَ “Dan Kami tundukkan binatang-binatang itu untuk mereka; maka sebahagiannya menjadi tunggangan mereka dan sebahagiannya mereka makan. Dan mereka memperoleh padanya manfaat-manfaat dan minuman. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur.” QS Yasin 72-73 هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu kembali setelah dibangkitkan.” QS al-Mulk 15 Karena itu kita tidak boleh membenarkan ucapan peramal bahwa kejadian alam dan nasib orang terpengaruh dengan gerakan bintang atau benda langit tertentu. Buktinya dalam satu waktu di saat bintang tertentu muncul ternyata lahir berbagai macam manusia yang nasib mereka berbeda-beda, ada yang nantinya kaya, ada yang miskin, ada yang berumur panjang, ada yang berumur pendek, ada yang baik dan ada yang buruk. Demikian juga dalam waktu yang sama bisa terjadi kecelakaan pesawat atau kapal, sementara penumpangnya dari berbagai macam suku, asal, agama, status sosial, dan lain-lainnya. Namun mereka mengalami nasib musibah yang sama. Ini semua menunjukan bahwa yang mengatur alam semesta bukanlah benda-benda langit melainkan Sang Pencipta yang mengaturnya dengan al-sunan al-kauniyyah tersebut.[15] Kelima Dalil pengkhususan دَلِيْلُ التَّخْصِيْصِ Di antara bukti eksistensi Tuhan adalah adanya makhluk dengan kekhususannya masing-masing. Sebagai contoh kecil, misalnya air mata berasa asin, air telinga pahit, dan air mulut tawar.[16] Air mata asin. Kandungannya meliputi leusinenkefalin, adrenokortikotropik, dan prolaktin, serta beberapa elektrolit, protein pengikat lemak dan immunoglobulin A, yang keseluruhannya menghasilkan rasa asin. Fungsi utamanya adalah menjaga kondisi mata agar tetap stabil. Protein pengikat lemak itu sendiri membuat lapisan terluar yang terdiri dari lapisan terluar yang terdiri dari lapisan lemak yang fungsinya melindungi kelembaban mata agar tetap utuh. Air telinga pahit. Ia merupakan hasil sekresi dari kelenjar-kelenjar di dalam telinga yang bersifat basa dan lengket. Cairan yang pahit ini menjadikan serangga tidak tertarik untuk masuk ke dalam lubang telinga. Kalaupun dimasuki oleh serangga maka menjadikan mereka tidak tahan berlama-lama di dalamnya dan segera keluar. Cairan yang cenderung lengket ini juga menjadikan benda-benda yang masuk terperangkap dan dapat dikeluarkan sebagai kotoran telinga. Air liur mulut berasa tawar. Ini karena memang fungsi mulut sebagai indra perasa. Tentu jika air liur kita berasa akan menjadikan kita tidak nyaman dalam menyantap makanan dan minuman. Ingat ketika kita sakit, dimana air liur terasa pahit, maka minum air tawar pun terasa pahit dan sangat tidak nyaman. Semua ini tidak mungkin terjadi dengan sendirinya atau kebetulan. Ini menunjukan adanya Sang Pencipta yang membuat kekhasan yang berbeda-beda untuk fungsi yang berbeda-beda pula. Jika Allah berkehendak tentu Allah bisa menciptakan dengan model selain yang kita saksikan sekarang ini. Allah berfirman أَلَمْ تَرَ إِلَى رَبِّكَ كَيْفَ مَدَّ الظِّلَّ وَلَوْ شَاءَ لَجَعَلَهُ سَاكِنًا ثُمَّ جَعَلْنَا الشَّمْسَ عَلَيْهِ دَلِيلًا “Apakah kamu tidak memperhatikan penciptaan Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan dan memendekkan bayang-bayang dan kalau Dia menghendaki niscaya Dia menjadikan tetap bayang-bayang itu, kemudian Kami jadikan matahari sebagai petunjuk atas bayang-bayang itu.” QS al-Furqan 45 أَفَرَأَيْتُمُ الْمَاءَ الَّذِي تَشْرَبُونَ، أَأَنْتُمْ أَنْزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الْمُنْزِلُونَ، لَوْ نَشَاءُ جَعَلْنَاهُ أُجَاجًا فَلَوْلَا تَشْكُرُونَ “Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya atau Kamikah yang menurunkannya? Kalau Kami kehendaki, niscaya Kami jadikan dia asin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur.” QS al-Waqi’ah 68-70 Ini semua menunjukan bahwa kekhasan kondisi dan bentuk dari makhluk-makhluk yang ada memang dikehendaki oleh Pencipta secara spesifik. Keenam Dalil keindahan دَلِيْلُ الْجَمَالِ Seorang teolog yang bernama Clark H. Pinnock pernah berkata, “Cara terbaik menghadapi ateisme adalah dengan melihat keindahan yang Tuhan ciptakan, bukan dengan perdebatan logika.” [17] Sisi pendalilannya, jika alam semesta ini terjadi dengan sendirinya tanpa Tuhan, atau terjadi tanpa tujuan, maka tidak akan ada keindahan padanya. Namun kenyataannya alam semesta penuh dengan keindahan. Jika alam semesta sekadar eksis begitu saja, maka adanya langit pun cukup, akan tetapi Allah menjadikan bintang-bintang sebagai perhiasan langit. إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ “Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang.” QS al-Shaffat 6 Bahkan Allah menghiasi alam bukan hanya dengan adanya matahari, namun juga disertai dengan indahnya sunset dan sunrise. Jika yang penting eksistensi bisa berlanjut maka yang penting ada oksigen untuk manusia, misalnya. Kenyataannya selain adanya oksigen, Allah juga memberikan aroma-aroma harum yang luar biasa. Demikian juga jika yang penting ada tumbuh-tumbuhan, maka tidak perlu adanya warna-warni bunga yang indah. Jika yang krusial adalah sekadar berketurunan, maka tidak perlu ada kecantikan dan ketampanan lawan jenis. Allah berfirman إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْأَرْضِ زِينَةً لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” QS al-Kahf 7 Oleh karena itu, teori evolusi tidak bisa menjelaskan teori keindahan. Sebab jika tujuan makhluk hidup hanya untuk mempertahankan eksistensinya maka tidak perlu adanya keindahan. Allah menjadikan hewan-hewan dengan bentuk yang indah. Lihatlah bagaimana burung-burung dengan warna yang indah, ikan-ikan hias dengan keindahan yang luar biasa. Jika hanya sekedar untuk bertahan hidup maka tidak perlu hewan-hewan tersebut memiliki keindahan-keindahan tersebut. Allah berfirman وَالْأَنْعَامَ خَلَقَهَا لَكُمْ فِيهَا دِفْءٌ وَمَنَافِعُ وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ، وَلَكُمْ فِيهَا جَمَالٌ حِينَ تُرِيحُونَ وَحِينَ تَسْرَحُونَ “Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada bulu yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan. Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan.” QS al-Nahl 5-6 Jangankan hewan-hewan hias, bahkan hewan ternak saja memiliki keindahan, dari sisi variasi bentuknya, selain juga jumlahnya, yang pemiliknya berbangga dan bergaya dengan hewan-hewannya tersebut. Ketujuh Dalil mukjizat para Nabi Di antara ayat-ayat Allah yang menunjukan rububiyyah Allah adalah mukjizat-mukjizat para Nabi dan Rasul. Karena hakikat mukjizat adalah خَرْقٌ لِلْعَادَةِ kejadian luar biasa yang di luar dari ranah hukum alam yang umumnya berlaku. Ini menunjukan adanya Rabb yang menjalankan mukjizat tersebut. Karena Rabb itulah yang telah membuat hukum alam, maka hanya Dialah yang mengadakan sesuatu di luar dari hukum alam tersebut. Allah berfirman وَرَسُولًا إِلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنِّي قَدْ جِئْتُكُمْ بِآيَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ أَنِّي أَخْلُقُ لَكُمْ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ فَأَنْفُخُ فِيهِ فَيَكُونُ طَيْرًا بِإِذْنِ اللَّهِ وَأُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ وَأُحْيِ الْمَوْتَى بِإِذْنِ اللَّهِ وَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا تَأْكُلُونَ وَمَا تَدَّخِرُونَ فِي بُيُوتِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ “Dan sebagai Rasul kepada Bani Israil yang berkata kepada mereka Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda mukjizat dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda kebenaran kerasulanku bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman.’” QS Ali Imran 49 فَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنِ اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْبَحْرَ فَانْفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيمِ، وَأَزْلَفْنَا ثَمَّ الْآخَرِينَ، وَأَنْجَيْنَا مُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَجْمَعِينَ، ثُمَّ أَغْرَقْنَا الْآخَرِينَ، إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً وَمَا كَانَ أَكْثَرُهُمْ مُؤْمِنِينَ “Lalu Kami wahyukan kepada Musa Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.’ Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar. Dan di sanalah Kami dekatkan golongan yang lain. Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang besertanya semuanya. Dan Kami tenggelamkan golongan yang lain tersebut. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar merupakan suatu tanda yang besar mukjizat dan tetapi adalah kebanyakan mereka tidak beriman.” QS al-Syu’ara` 63-67 فَنَجَّيْنَاهُ وَأَهْلَهُ أَجْمَعِينَ، إِلَّا عَجُوزًا فِي الْغَابِرِينَ، ثُمَّ دَمَّرْنَا الْآخَرِينَ، وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا فَسَاءَ مَطَرُ الْمُنْذَرِينَ، إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً وَمَا كَانَ أَكْثَرُهُمْ مُؤْمِنِينَ “Lalu Kami selamatkan ia beserta keluarganya semua, kecuali seorang perempuan tua isterinya, yang termasuk dalam golongan yang tinggal. Kemudian Kami binasakan yang lain. Dan Kami hujani mereka dengan hujan batu maka amat jeleklah hujan yang menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan itu. Sesunguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat bukti-bukti yang nyata. Dan adalah kebanyakan mereka tidak beriman.” QS al-Syu’ara` 170-174 وَيَا قَوْمِ هَذِهِ نَاقَةُ اللَّهِ لَكُمْ آيَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِي أَرْضِ اللَّهِ وَلَا تَمَسُّوهَا بِسُوءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ قَرِيبٌ “Hai kaumku, inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat yang menunjukkan kebenaran untukmu, sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun yang akan menyebabkan kamu ditimpa azab yang dekat.” QS Hud 64 Terlebih lagi mukjizat-mukjizat yang berkaitan secara spesifik dengan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, di antaranya Pertama Akhlak Nabi shallallahu alaihi wasallam yang luar biasa merupakan mukjizat tersendiri. Tidak mungkin Nabi shallallahu alaihi wasallam memiliki akhlak seperti itu kecuali ada Tuhan yang menjadikan beliau demikian. Kedua Mukjizat al-Quran yang diturunkan kepada beliau, yang hingga sekarang tidak ada yang mampu yang mendatangkan seperti al-Quran padahal al-Quran turun dengan bahasa Arab. Ketiga Nabi mengabarkan tentang banyak hal yang tidak mungkin diketahui oleh manusia biasa, seperti mengabarkan tentang hal-hal gaib masa lalu, hal-hal gaib masa depan, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan sains, yang ternyata baru terbukti kebenarannya di zaman modern sekarang. Keempat Mukjizat-mukjizat Nabi shallallahu alaihi wasallam lainnya yang banyak, yang telah dikumpulkan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka, seperti dalam kitab al-Dalail al-Nubuwwah, karya al-Baihaqi. Penguat-Penguat Dalil-Dalil Adanya Tuhan Pertama Adanya perubahan-perubahan dan tahapan-tahapan yang dialami oleh manusia di luar kekuasannya, yang ia tidak bisa mengatur tahapan-tahapan tersebut, itu menunjukan bahwa ada Yang Maha mengatur perubahan-perubahan tersebut. Seseorang melihat dirinya dari tahapan bayi, lalu remaja, lalu dewasa, lalu tua dan ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah perubahan-perubahan tersebut. Bahkan ia dulunya adalah air mani,[18] lalu menjadi segumpal darah, lalu menjadi segumpal daging, lalu ada tulang-belulang, dan seterusnya hingga ia menjadi manusia. وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ، ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ، ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati berasal dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani yang disimpan dalam tempat yang kukuh rahim. Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” QS al-Mu`minun 12-14 Ia tidak mampu untuk mengatur dirinya sendiri dari kondisi lemah air mani menuju kondisi yang semakin sempurna menjadi daging yang bertulang. Demikian pula ketika ia telah menjadi sempurna menjadi seorang pemuda yang sangat kuat maka ia tidak mempu untuk mencegah dirinya dari kondisi yang semakin melemah dan semakin tua. Allah berfirman اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ “Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan kamu sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan kamu sesudah kuat itu lemah kembali dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” QS al-Rum 54 هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ يُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ ثُمَّ لِتَكُونُوا شُيُوخًا وَمِنْكُمْ مَنْ يُتَوَفَّى مِنْ قَبْلُ وَلِتَبْلُغُوا أَجَلًا مُسَمًّى وَلَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ “Dialah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian kamu dibiarkan hidup supaya kamu sampai kepada masa dewasa, kemudian dibiarkan kamu hidup lagi sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. Kami perbuat demikian supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahaminya.” QS Ghafir 67 Kedua Adanya berbagai model manusia dengan berbagai macam warna kulit mereka serta bervariasinya sifat dan tabiat mereka. Bahkan dua anak yang lahir dari rahim yang sama, dari ayah dan ibu yang sama ternyata bisa berbeda warna kulitnya dan tabiatnya. Yang satu sangat lembut penyabar sementara yang satunya kasar dan pemarah, misalnya. Jika semua terjadi hanya karena sekedar natural alami saja maka tentu semua manusia harusnya sama baik warna kulit maupun tabiatnya. Ketiga Adanya ratusan bahasa di alam ini. Padahal tidak ada guru khusus yang mengajari mereka. Apalagi dengan jutaan kosakata dengan beragam penggunaannya. Begitu pula dengan anak-anak yang diberi kemampuan menguasai bahasa dalam usia yang dini. Allah berfirman وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah penciptaan langit dan bumi serta beragamnya bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” QS al-Rum 22 Keempat Lihatlah tetumbuhan yang berasal dari biji yang kecil dan lunak namun jika diletakan di tanah maka bisa membelah tanah lalu keluar dan berubah menjadi pohon yang besar serta menghasilkan buah yang banyak. Bahkan pepohonan dan buah itu pun beraneka ragam jenis dan rasanya. Allah berfirman فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ إِلَى طَعَامِهِ، أَنَّا صَبَبْنَا الْمَاءَ صَبًّا، ثُمَّ شَقَقْنَا الْأَرْضَ شَقًّا، فَأَنْبَتْنَا فِيهَا حَبًّا، وَعِنَبًا وَقَضْبًا، وَزَيْتُونًا وَنَخْلًا، وَحَدَائِقَ غُلْبًا، وَفَاكِهَةً وَأَبًّا، مَتَاعًا لَكُمْ وَلِأَنْعَامِكُمْ “Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya, sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air dari langit, kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan kurma, kebun-kebun yang lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.” QS Abasa 24-32 Kelima Lihatlah air hujan yang turun ke bumi, bagaimana ia turun dalam bentuk air tawar dan bukan air asin. Ia turun dalam bentuk butiran-butiran, yang tiap butirannya tidak bercampur dengan butiran yang lain, baik di udara maupun di bumi. Sekiranya butiran-butiran tersebut bergabung di udara lalu turun ke bumi tentu dapat menyebabkan bencana. Allah berfirman أَفَرَأَيْتُمُ الْمَاءَ الَّذِي تَشْرَبُونَ، أَأَنْتُمْ أَنْزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الْمُنْزِلُونَ، لَوْ نَشَاءُ جَعَلْنَاهُ أُجَاجًا فَلَوْلَا تَشْكُرُونَ “Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum, Kamukah yang menurunkannya atau Kamikah yang menurunkannya, Kalau Kami kehendaki, niscaya Kami jadikan dia asin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur.” QS al-Waqi’ah 68-70 Demikian juga Allah menurunkan hujan sesuai kadar keperluan manusia. Jika Allah tidak menahan sebagian hujan, tentu akan terjadi banjir besar dan membinasakan manusia.[19] Keenam Lihatlah matahari yang bersinar sejak sekian abad lalu. Energi panas yang sampai ke bumi selalu konstan dan stabil, padahal jaraknya begitu jauh. Siapakah yang menyediakan sumber energi yang bertahan demikian lama? Begitu pula matahari yang bertahan di orbitnya, jika matahari maju sedikit maka penghuni bumi akan mati kepanasan, dan sebaliknya jika matahari menjauh sedikit tentu penghuni bumi akan mati kedinginan. Tidak mungkin semua itu terjadi dengan sendirinya. Ketujuh Lihatlah langit yang begitu luas dan tinggi tanpa tiang yang menyangganya. Bahkan tetap kukuh meskipun ditempati oleh benda-benda langit yang begitu besar dan berat. Allah berfirman وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ “Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan Kami dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya.” QS al-Dzariyat 47 اللَّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا “Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang sebagaimana yang kamu lihat.” QS al-Ra’d 2 Kedelapan Lihlatlah angin, bertiup dengan teratur. Ada angin yang merangkai awan, ada angin yang memindahkan posisi awan, dan ada angin yang menggerakan awan untuk menurunkan hujan. Ada angin yang menjalankan perahu dan kapal. Seandainya seluruh manusia berkumpul untuk membuat angin yang berhembus di lautan maka mereka tidak akan mampu. Allah berfirman اللَّهُ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ فَتُثِيرُ سَحَابًا فَيَبْسُطُهُ فِي السَّمَاءِ كَيْفَ يَشَاءُ وَيَجْعَلُهُ كِسَفًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ فَإِذَا أَصَابَ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ “Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya, tiba-tiba mereka menjadi gembira.” QS al-Rum 48 أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يُزْجِي سَحَابًا ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَيْنَهُ ثُمَّ يَجْعَلُهُ رُكَامًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ جِبَالٍ فِيهَا مِنْ بَرَدٍ فَيُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَصْرِفُهُ عَنْ مَنْ يَشَاءُ يَكَادُ سَنَا بَرْقِهِ يَذْهَبُ بِالْأَبْصَارِ “Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara bagian-bagiannya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah juga menurunkan butiran-butiran es dari langit, yaitu dari gumpalan-gumpalan awan seperti gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya butiran-butiran es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan.” QS al-Nur 43 Kesembilan Lihatlah bumi, Allah menjadikannya sebagai hamparan yang mudah untuk ditinggali. Kenapa bumi tidak semuanya berupa bebatuan yang cadas atau semuanya berupa lautan? Kemudian tanah di bumi ada yang menahan menyerap air dan menumbuhkan tetumbuhan, ada pula tanah yang tidak bisa menahan dan tidak bisa menyerap air, serta ada pula tanah yang menahan air namun tidak menumbuhkan tetumbuhan seperti danau dan yang semisalnya. Siapakah yang menjadikan beragam model tanah tersebut? Kesepuluh Lihatlah burung-burung bagaimana bisa berterbangan di udara. Sementara ada hewan-hewan unggas yang bentuknya mirip dengannya juga memiliki sayap seperti ayam dan bebek namun tidak bisa terbang. Allah berfirman أَلَمْ يَرَوْا إِلَى الطَّيْرِ مُسَخَّرَاتٍ فِي جَوِّ السَّمَاءِ مَا يُمْسِكُهُنَّ إِلَّا اللَّهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ “Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang diangkasa bebas. Tidak ada yang menahannya sehingga tidak jatuh selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Tuhan bagi orang-orang yang beriman.” QS al-Nahl 79 Kesebelas Betapa banyak orang yang doanya dikabulkan seketika itu juga. Siapakah yang mendengarkan dan mengabulkan permohonan-permohonan tersebut? Kedua Belas Betapa sering seseorang bertekad melakukan sesuatu namun tiba-tiba berubah tekadnya. Ini semua menunjukan tekadnya pun ada yang mengaturnya. Seorang Badui pernah ditanya, “Dengan apa engkau mengenal Tuhanmu?” Ia menjawab, بِنَقْضِ الْعَزَائِمِ وَصْرْفِ الْهِمَمِ “Dengan batalnya tekad dan semangat yang berpaling secara tiba-tiba.” Ketiga Belas Siapa yang menjadikan kucing yang buas ketika berburu tikus menjadi begitu lembut dan dekat dengan manusia? Siapakah yang menjadikan onta yang begitu kuat namun menjadi lembut dan tunduk diperintah dan dinaiki oleh manusia? Jawaban semua itu tentu hanyalah Allah Sang Pencipta. أَدِلَّةُ تَوْحِيْدِ الرُّبُوْبِيَّةِ Kedua Dalil Tuhan Tunggal Tidak Berbilang Dalil-dalil tentang tauhid Rububiyyah keesaan Tuhan bisa kita klasifikasikan menjadi dua Pertama Dalil Fitrah Sebagaimana fitrah telah menunjukan akan adanya Tuhan, maka demikian juga fitrah menunjukan bahwa Tuhan tersebut esa dan tidak berbilang. Karena itu, ketika dalam kondisi genting umumnya hati manusia akan bergantung kepada satu arah saja, yaitu kepada Tuhan yang satu. Tidaklah hati mereka mencari tuhan yang berbilang, hati mereka akan mencari dan bergantung kepada satu kekuatan terbesar yang mereka yakini bisa menghilangkan kegentingan mereka. Allah berfirman وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلَّا إِيَّاهُ “Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia.” QS Al-Isra` 67 فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ “Maka apabila mereka naik kapal mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” QS al-Ankabut 65 Keesaan tuhan yang ditunjukan oleh fitrah juga diisyaratkan oleh Nabi Yusuf alaihis salam dalam perkataannya يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ، مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ “Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya menyembah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu.” QS Yusuf 39-40 Pertanyaan Nabi Yusuf alaihis salam kepada kedua penghuni penjara tersebut adalah dalam rangka untuk menggerakan kembali fitrah mereka untuk berpikir manakah yang lebih baik, apakah Tuhan yang esa ataukah yang berbilang? Selanjutnya Yusuf menegaskan bahwa apa yang mereka sembah tersebut hanyalah tuhan-tuhan yang dinama-namakan saja yang tidak ada hakikatnya.[20] Kedua Dalil Akal Kalangan Ahli Kalam mengajukan sebuah dalil logika aqliy untuk menunjukan keesaan Tuhan dan tidak berbilang. Dalil itu disebut dengan دَلِيْلُ التَّمَانُعِ “Dalil Tamanu’ saling menghalangi” atau دَلِيْلُ الْمُمَانَعَةِ. Masih terdapat pro dan kontra di kalangan ulama terkait pendalilan ini. Namun yang benar, dalil aqliy tersebut memang benar dan tepat sasaran.[21] Adapun penjelasannya sebagai berikut Secara bahasa التَّمَانُعُ artinya saling menghalangi, yaitu jika ada dua tuhan maka tuhan yang satu akan mencegah tuhan lainnya yang ingin menjalankan keinginannya, demikian pula sebaliknya. Dengan asumsi kondisi adanya dua tuhan di atas, maka terdapat 3 tiga alternatif kemungkinan Pertama Kedua tuhan tersebut sama-sama saling menguasai satu sama Ini tidak mungkin, karena tekumpul dua hal yang kontradiktif menguasai dan dikuasai dalam satu waktu. Kedua Kedua tuhan tersebut sama-sama tidak saling menguasai satu sama lain, maka keduanya tidak pantas untuk menjadi tuhan karena sama-sama lemah Ketiga Salah satu dari tuhan-tuhan tersebut menguasai tuhan-tuhan yang lainnya, maka yang berhak menjadi tuhan hanyalah yang menguasai. Adapun berkaitan dengan التَّمَانُعُ, maka dengan asumsi kedua tuhan tersebut memiliki kuasa yang sama, namun berbeda keinginan, lalu keduanya terfokus pada satu objek tertentu yang sama. Misalnya, tuhan pertama ingin menggerakan benda tertentu sedangkan tuhan kedua justru ingin mendiamkannya, maka dalam hal ini terdapat 3 kemungkinan Pertama Kedua tuhan tersebut berhasil memenuhi kehendaknya. Ini mustahil karena menggabungkan dua hal yang kontradiktif. Tidak mungkin benda tersebut bergerak sekaligus diam dalam waktu yang sama. Jika objeknya adalah alam semesta maka tentu tidak akan terjadi alam semesta. Kedua Kedua tuhan tersebut gagal memenuhi kehendak mereka. Dengan demikian keduanya tidak pantas jadi tuhan karena ketidakmampuannya, serta juga terjadi dua hal yang kontradiktif, yaitu benda tersebut bergerak dan diam dalam satu waktu. Ketiga Pada benda tersebut terjadi salah satunya saja, yaitu diam atau bergerak. Ini juga tidak mungkin karena adalah bentuk التَّرْجِيْحُ بِلاَ مُرَجِّحٍ tarjih tanpa sebab. Karena bagaimana mungkin bisa menyatakan salah satu dari kedua tuhan tersebut terwujudkan keinginannya sedangkan keduanya memiliki kuasa yang sama.[22] Namun jika demikian asumsinya, maka yang terpenuhi kehendaknya itulah yang berhak menjadi tuhan, sementara yang tidak terpenuhi kehendaknya maka tidak pantas menjadi tuhan karena kelemahan dan ketidakmampuannya. Ada kemungkinan keempat, yaitu kedua tuhan tersebut saling bersepakat dalam kehendak mereka. Namun ini juga menunjukan bahwa kedua tuhan tersebut tidak pantas untuk jadi tuhan karena keduanya saling membutuhkan bantuan yang lainnya. Ibnu Taimiyyah berkata فَكُلٌّ مِنْ الْمُشْتَرِكَيْنِ فِي مَفْعُولٍ فَأَحَدُهُمَا مُفْتَقِرٌ إلَى الْآخَرِ فِي وُجُودِ ذَلِكَ الْمَفْعُولِ؛ مُحْتَاجٌ إلَيْهِ فِيهِ وَإِلَّا لَمْ يَكُونَا مُشْتَرِكَيْنِ؛ لِأَنَّ كُلًّا مِنْهُمَا إمَّا أَنْ يَكُونَ مُسْتَقِلًّا بِالْفِعْلِ مُنْفَرِدًا بِهِ؛ أَوْ لَا يَكُونَ فَإِنْ كَانَ مُسْتَقِلًّا بِهِ مُنْفَرِدًا بِهِ امْتَنَعَ أَنْ يَكُونَ لَهُ فِيهِ شَرِيكٌ أَوْ مُعَاوِنٌ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مُسْتَقِلًّا مُنْفَرِدًا بِهِ لَمْ يَكُنْ الْمَفْعُولَ بِهِ وَحْدَهُ بَلْ بِهِ وَبِالْآخَرِ وَلَمْ يَكُنْ هُوَ وَحْدَهُ كَافِيًا فِي وُجُودِ ذَلِكَ الْمَفْعُولِ بَلْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الْآخَرِ فِي وُجُودِ ذَلِكَ الْمَفْعُولِ مُفْتَقِرًا إلَيْهِ فِيهِ “Masing-masing dari dua pihak yang bermitra untuk satu objek tentu maka salah satu pihak membutuhkan yang lain untuk mewujudkan objek tersebut. Jika tidak demikian maka tentu keduanya tidak bermitra. Karena pilihannya, masing-masing dari kedua pihak itu mampu membuat objek tersebut secara mandiri atau tidak mampu. Jika mampu, maka ia tidak bermitra. Namun jika ia tidak mampu, maka objek itu tidak akan terjadi karena adanya satu pihak saja, melainkan dengan kerja sama pihak lain. Jadi Ia tidak bisa bersendirian dalam mewujudkan objek tersebut, namun membutuhkan pihak lain.”[23] Kedua tuhan itu memiliki sifat-sifatnya masing-masing. Jika sifat-sifatnya sama maka salah satunya tentu yang lebih sempurna, karena kalau keduanya sama sempurna maka tidak ada tuhan, sebab tuhan harus yang paling sempurna. Adapun jika sifatnya berbeda-beda berarti maka keduanya juga tidak pantas menjadi tuhan karena ada zat lain yang memiliki sifat sempurna yang tidak ia miliki. Selain itu, jika ada pencipta yang lain selain Allah maka mana Rasul yang diutusnya? mana kitab yang diturunkannya? Adapun Allah maka telah mengutus Rasul-Nya dan menurunkan Kitab-Nya. Adapun dalil-dalil akal dari al-Quran yang menunjukan tunggalnya Pencipta, maka berkisar pada tiga ayat[24] Pertama Firman Allah مَا اتَّخَذَ اللَّهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ إِذًا لَذَهَبَ كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ “Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan yang lain beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.” QS al-Mu`minun 91 Ayat ini sangat jelas menunjukan tauhid Rububiyyah Tunggalnya Pencipta. Adapun sisi pendalilannya adalah Allah menyatakan bahwa Allah tidak punya anak, dan tidak ada juga sesembahan bersama Allah. Sebab jika ada, maka konsekuensinya sesembahan-sesembahan tersebut juga memiliki sifat Rububiyyah di antaranya sifat “mencipta”, sebagaimana disebutkan dalam ayat tesebut. Dengan asumsi demikian, maka akan melazimkan dua hal Pertama Sebagaimana firman Allah لَذَهَبَ كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ “masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya.” Telah diketahui bahwa itu tidak terjadi. Kita lihat alam hanya satu dan tidak ada makhluk-makhluk lain dengan tuhan mereka. Kedua Sebagaimana firman Allah وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ “dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain.” Yakni, mustahil tuhan-tuhan tersebut sama dalam qudrah kuasanya. Pasti ada yang terkuat diantara mereka dan akhirnya ialah yang berkuasa dari semuanya. Dialah yang berhak untuk menjadi tuhan.[25] Jika digabungkan dua kelaziman di atas, maka ayat ini selaras untuk dijadikan sebagai hujah atas Dalil Tamanu’ yang diutarakan oleh Ahli Kalam.[26] Kedua Firman Allah لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ´Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.” QS al-Anbiya` 22 Ibnu Rusyd menjelaskan sisi pendalilan dari ayat ini Secara logika, jika ada dua raja yang masing-masing melakukan tindakan yang sama dengan raja lainnya, maka tidak mungkin keduanya menghasilkan sebuah kota. Karena tidak mungkin dua pelaku yang sejenis memunculkan satu perbuatan. Jika kedua raja tersebut sama-sama bertindak maka kota tersebut akan rusak, kecuali salah satu raja bekerja dan yang lain menganggur. Tentu sifat “menganggur” tersebut bukanlah sifat tuhan. Karenanya kapan terkumpul dua tindakan dari jenis yang sama pada satu tempat yang sama maka melazimkan rusaknya tempat tersebut.[27] Demikian penjelasan Ibnu Rusyd. Namun Ibnu Taimiyyah tidak sependapat dan beliau mengkritik penjelasan Ibnu Rusyd itu.[28] Karena ayat ini datang dalam konteks membantah kaum musyrik Arab yang menyembah sesembahan-sesembahan lain di samping mereka juga menyembah Allah. Perhatikan konteks ayat-ayat sebelum dan sesudahnya sebagai berikut وَلَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ عِنْدَهُ لَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلَا يَسْتَحْسِرُونَ، يُسَبِّحُونَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لَا يَفْتُرُونَ، أَمِ اتَّخَذُوا آلِهَةً مِنَ الْأَرْضِ هُمْ يُنْشِرُونَ، لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ، لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ، أَمِ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ هَذَا ذِكْرُ مَنْ مَعِيَ وَذِكْرُ مَنْ قَبْلِي بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ الْحَقَّ فَهُمْ مُعْرِضُونَ “Dan kepunyaan-Nya segala yang di langit dan di bumi. Malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada pula merasa letih, mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya. Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan dari bumi, yang dapat menghidupkan orang-orang mati. Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ´Arsy daripada apa yang mereka sifatkan. Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai. Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain-Nya? Katakanlah Tunjukkanlah hujahmu! Al-Quran ini adalah peringatan bagi orang-orang yang bersamaku, dan peringatan bagi orang-orang yang sebelumku.’ Sebenarnya kebanyakan mereka tiada mengetahui yang hak, karena itu mereka berpaling.” QS al-Anbiya` 19-24 Telah diketahui bahwa kaum musyrik meyakini keesaan Sang Pencipta, bahwa Allah satu-satunya pencipta. Kesyirikan mereka adalah mengambil sesembahan-sesembahan selain Allah. Mereka menjadikan sesembahan-sesembahan tersebut sebagai perantara antara mereka dengan Allah sebagaimana yang Allah sebutkan dalam firman-Nya وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih dari syirik. Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah berkata “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.’” QS al-Zumar 3. Demikian juga Ahli Kalam berlebih-lebihan sehingga berusaha mengkaitkan ayat ini dengan Dalil Tamanu’. Padahal ayat ini tidak ada kaitannya. Menurut Ahli Kalam, ayat ini menjelaskan bahwa jika ada banyak pencipta maka terjadi kerusakan langit dan bumi. Ternyata kerusakan tersebut tidak terjadi, maka ini menunjukan bahwa Pencipta hanya tunggal. Namun tafsiran seperti ini tidak selaras dengan Dalil Tamanu’. Sebab kalau selaras, maka ayatnya seharusnya berbunyi لَمْ يُوجَدَا “niscaya langit dan bumi tidak tercipta,”[29] namun kenyataannya Allah berfirman لَفَسَدَتَا “niscaya langit dan bumi akan rusak.” Sebagian ulama Ahlus Sunnah[30] mengambil jalan tengah dengan tetap menganggap bahwa ayat ini juga tetap mengisyaratkan kepada tunggalnya Pencipta, dengan sisi pendalilan yang mirip dengan Dalil Tamanu’, meskipun tidak sama persis dengan yang diutarakan oleh Ahli Kalam. Sisi pendalilannya lebih sederhana dan lebih mudah dicerna oleh masyarakat. Yaitu, jika ada dua pencipta yang mengatur alam ini maka pasti akan ada kekacauan dalam aturan-aturan alam. Sebagaimana yang kita saksikan di dunia ini, adanya dualisme kepemimpinan menyebabkan kekacauan. Ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Rusyd, namun beliau tidak menganggap ini sebagai Dalil Tamanu’. Ketiga Firman Allah قُلْ لَوْ كَانَ مَعَهُ آلِهَةٌ كَمَا يَقُولُونَ إِذًا لَابْتَغَوْا إِلَى ذِي الْعَرْشِ سَبِيلًا، سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يَقُولُونَ عُلُوًّا كَبِيرًا “Katakanlah Jikalau ada tuhan-tuhan di samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada Tuhan yang mempunyai Arsy.’ Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang sebesar-besarnya.” QS al-Isra` 42-43 Sisi pendalilan ayat ini jika ada tuhan-tuhan selain Allah bersama Allah, niscaya mereka saling baku hantam dan berebut untuk menguasai. Dengan demikian kandungan ayat ini sama dengan kandungan firman Allah مَا اتَّخَذَ اللَّهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ إِذًا لَذَهَبَ كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ “Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan yang lain beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.” QS al-Mu`minun 91 Ini adalah pendapat sebagian ahli tafsir seperti al-Baghawi dan Abu al-Sa’ud dalam tafsir mereka. Adapun Ibnu Taimiyyah, maka beliau memandang maksud ayat ini adalah jika terdapat tuhan-tuhan selain Allah maka mereka pun akan berusaha mencari kedekatan kepada Allah dan mereka akan beribadah kepada Allah dan memohon kepada Allah. Lantas mengapa kaum musyrik menyembah mereka, sementara kalaupun mereka ada, maka mereka akan menyembah Allah dan mencari kedekatan kepadaNya.[31] Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Rukum Iman Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA. _______________________ [1] Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa ilmu dasar tentang adanya tuhan lebih darurat lebih mudah dan kuat terpatri dalam hati daripada pengetahuan tentang ilmu-ilmu dasar sains seperti 1 lebih kecil dari 2, atau satu adalah sepertiga dari 3. Buktinya, seseorang lebih butuh untuk merealisasikan konsekuensi adanya Tuhan dengan terdorong hatinya untuk berdoa dan memohon kepada pencipta, daripada merenungkan konsekuensi dari “1 lebih kecil daripada 3”. Adapun bahwa “satu lebih kecil dari tiga”, atau “tidak mungkin tergabung dua hal yang kontradiktif” hampir-hampir tidak terbetik dalam pikiran banyak orang apalagi menjalankan konsekuensinya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, “adanya Allah” sejatinya tidak membutuhkan dalil. Ibnu Taimiyyah berkata كَيْفَ يُطْلَبُ الدَّلِيلُ عَلَى مَنْ هُوَ دَلِيلٌ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ؟ … وَلَيْسَ يَصِحُّ فِي الْأَذْهَانِ شَيْءٌ … إِذَا احْتَاجَ النَّهَارُ إِلَى دَلِيلٍ “Bagaimana dituntut untuk mencari bukti/argumen untuk menunjukan sesuatu yang merupakan bukti atas segala sesuatu…. Sungguh, bukanlah hal benar dalam pikiran, jika jelasnya siang hari masih membutuhkan bukti.” Lihat penukilan Ibnul-Qayyim dalam Madarij al-Salikin, vol. I, hlm. 82. Namun setan berusaha untuk mengeleminasi fitrah tentang eksistensi Tuhan dari dada manusia dengan menghembuskan syubhat-syubhat. Lihat Majmu’ al-Fatawa, vol. II, hlm. 15-16, dan Bayan Talbis al-Jahmiyyah, vol. IV, hlm. 562, 585. Oleh karena itu, penjelasan dan pemaparan dalil-dalil rububiyyah Allah adalah dalam rangka menepis syubhat-syubhat yang disebarkan oleh kalangan ateis. Ketika fitrah terserang oleh syubhat-syubhat tersebut maka ia pun terkotori, sehingga perlu pemaparan tentang dalil-dalil rububiyyah adanya Tuhan, bukan untuk menanamkan fitrah, melainkan untuk mengembalikan fitrah kepada asalnya yang bersih dan mengakui adanya Pencipta. Ibnu Taimiyyah berkata الإِقْرَارُ بِالصَّانِعِ فِطْرِيٌّ ضَرُوْرِيٌّ بَدِيْهِيٌّ لاَ يَجِبُ أَنْ يَتَوَقَّفَ عَلَى النَّظَرِ وَالاِسْتِدْلاَلِ “Pengakuan adanya pencipta adalah perkara fitrah yang otomatis dan spontan, yang muncul di hati tanpa harus melalui pengamatan dan penelitian.” Lihat Bayan Talbis al-Jahmiyyah, vol. IV, hlm. 570. Namun وَإِنْ كَانَتْ ضَرُوْرِيَّةً فِي حَقِّ أَهْلِ الْفِطَرِ السَّلِيْمَةِ فَكَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ يَحْتَاجُ فِيْهَا إِلَى النَّظَرِ، وَالإِنْسَانُ قَدْ يَسْتَغْنِي عَنْهُ فِي حَالٍ وَيَحْتَاجُ إِلَيْهِ فِي حَالٍ “Meskipun ia otomatis ada pada orang-orang yang fitrahnya masih bersih, akan tetapi banyak orang yang perlu pengamatan untuk mengetahui adanya pencipta. Seseorang terkadang memerlukan pengamatan dan penelitian pada suatu kondisi, namun tidak memerlukannya dalam kondisi lainnya.” Lihat Dar` Ta’arudh al-Aql wan-Naql, vol. III, hlm. 303-304. Oleh karena itu فَمَنْ حَصَلَتْ لَهُ الْمَعْرِفَةُ أَوِ الإِيْمَانُ … بِغَيْرِ النَّظَرِ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ، وَمَنْ لَمْ تَحْصُلْ لَهُ الْمَعْرِفَةُ وَلاَ الإِيْمَانُ إِلاَّ بِهِ وَجَبَ عَلَيْهِ “Siapa yang memiliki makrifat mengakui adanya Allah dan keimanan … tanpa pengamatan maka tidak wajib baginya untuk melakukan pengamatan. Begitu pula siapa yang tidak memiliki makrifat dan iman kecuali dengan pengamatan maka wajib baginya pengamatan tersebut.” Dar` Ta’arudh al-Aql wan-Naql, vol. VII, hlm. 405. Dengan demikian, perkara pertama yang wajib diketahui oleh mukalaf itu berbeda-beda berdasarkan kondisi mukalaf tersebut. Lihat Dar` Ta’arudh al-Aql wan-Naql, vol. VIII, hlm. 16. Adapun jika diperlukan “pengamatan” maka banyak “pengamatan/teori” yang bisa mengantarkan sesorang untuk mengenal adanya pencipta. Semua pengamatan/teori yang mengantarkan hal tersebut maka teori tersebut benar. Karena itu tidak dibenarkan untuk membatasi pada satu teori/pengamatan tertentu untuk mengenal adanya pencipta. Lihat Majmu’ al-Fatawa, vol. XVI, hlm. 338. Jika seseorang telah memiliki makrifat lantas ia menempuh pengamatan yang benar dan ditunjukan oleh syariat maka makrifatnya akan semakin kuat. Lihat al-Intishar li Ahlil-Hadits, Abul-Muzhaffar al-Sam’ani, hlm. 60. Namun juga perlu diwaspadai pengamatan-pengamatan teori-teori tentang adanya Tuhan yang diutarakan oleh sebagian ahli bidah, yang kadang justru tidak mengantarkan pada keimanan tentang adanya Pencipta, bahkan sebaliknya mengantarkan pada keraguan adanya pencipta, atau bahkan bisa berkonsekuensi pada penafian Sang Pencipta. [2] HR al-Bukhari no. 1358 dan Muslim no. 2658. [3] Lihat penjelasan Ibnu Taimiyyah dalam Dar-ut-Ta’arudh, vol. VIII, hlm. 383, dan vol. IV, hlm. 322. [4] Al-Ghazzali menjelaskan bahwa ilmu-ilmu dasar seperti ini tidak butuh dalil untuk membutikan kebenarannya. Jika ilmu-ilmu dasar ini pun harus membutuhkan dalil maka ujung semua erkara tidak pernah mencapai kebenaran. Sebab “dalil yang menunjukan kebenaran tersebut” juga masih membutuhkan dalil untuk membuktikan kebenarannya, dan begitu seterusnya tanpa ujung. Al-Ghazzali berkata فَإِنَّ الأَوَّلِيَاتِ لَيْسَتْ مَطْلُوْبَةً فَإِنَّهاَ حَاضِرَةٌ، وَالْحَاضِرُ إِذَا طُلِبَ فُقِدَ وَاخْتَفَى “Sesungguhnya perkara-perkara mendasar tidak perlu dituntut, karena ia sudah hadir jelas. Sesuatu yang hadir jelas jika dituntut maka justru menjadi samar dan hilang.” Lihat Munqidz min al-Dhalal, hlm. 48. [5] Problemnya jika ada ateis mengingkari ilmu-ilmu dasar tersebut. Contohnya, ada yang menyatakan, “Alam ini tadinya tidak ada, lalu tiba-tiba terjadi dengan sendirinya tanpa Pencipta.” Tentu hal ini tidak masuk akal. Sebab di antara ilmu dasar adalah “tidak mungkin sesuatu terjadi tanpa sebab”, sehingga ketika ia menolak ilmu dasar tersebut maka ia berani menyatakan bahwa alam terjadi dengan tiba-tiba, dari tidak ada lantas menjadi ada, tanpa ada sebab yang menyebabkan perubahan status dari ketiadaan menjadi ada. Ini tentu tidak logis. Lebih tidak logis lagi, berdasarkan konsekuensi pandangan mereka Ketiadaan bisa menciptakan keberadaan! Ada kisah yang cukup lucu tentang perdebatan seorang ateis dengan seorang agamais. Sang agamais bertanya, “Apakah Anda percaya dengan ilmu-ilmu dasar ini?” Ateis itu menjawab, “Tidak. Saya tidak percaya!” Sang agamais lalu berkata, “Bahkan, sejatinya engkau percaya.” Ateis itu tetap bersikeras, “Sudah saya tegaskan Saya tidak percaya!” Agamais itu kembali menimpali, “Justru itu menunjukkan bahwa engkau sejatinya percaya!” Maksudnya, ateis itu meyakini bahwa “percaya” dan “tidak percaya” merupakan dua hal kontradiktif, yang tidak mungkin digabungkan. Sedangkan hal tersebut yaitu dua hal kontradiktif tidak mungkin digabungkan, merupakan salah satu postulat dalam ilmu-ilmu dasar yang coba diingkari oleh ateis tadi. Pada akhirnya ateis itu pun kalah debat. Lihat Syumu’ al-Nahar, Abdullah al-Ujairi, hlm. 51. [6] Pada kesempatan lainnya, terjadi perdebatan antara seorang ateis dan agamais. Sang agamais bertanya, “Menurut Anda, mana yang lebih baik surga atau neraka yang membakar?” Ateis itu menjawab, “Tentu neraka.” Sang agamis pun bertanya lebih lanjut, “Apa timbangan yang menjadi dasar penilaianmu?” Ateis itu terjebak. Ia telah memberikan jawaban yang tentu saja tidak benar dan menyelisihi fitrahnya. Kalaupun ia bersikeras bahwa menurutnya ia telah menjawab dengan benar, maka ia tidak akan bisa mengelak bahwa jawabannya itu didasarkan atas kemampuannya menilai mana yang dianggapnya baik dan mana yang dianggap buruk, dimana hal tersebut sudah tertanam dalam dirinya. Itulah bagian dari fitrah. [7] HR Al-Bukhari no. 6000, dan Muslim no. 2752. [8] Lihat Zad al-Masir, vol. III, hlm. 161. [9] Ayat-ayat Allah yaitu makhluk-makhluk ciptaan Allah seperti alam semesta, pepohonan, hewan-hewan, gunung, langit, bumi, matahari, rembulan, dan lain-lain, yang menunjukan adanya Sang Pencipta. Allah menamakan makhluk-makhluk tersebut dengan ayat-ayat, karena ayat artinya adalah tanda atau bukti yang menunjukan akan adanya Allah. Allah berfirman إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati kering-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh terdapat tanda-tanda keesaan dan kebesaran Allah bagi kaum yang memikirkan.” QS al-Baqarah 164 إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” QS Ali Imran 190 وَهُوَ الَّذِي مَدَّ الْأَرْضَ وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْهَارًا وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ جَعَلَ فِيهَا زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ “Dan Dialah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi kaum yang memikirkan.” QS al-Ra’d 3 وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ إِذَا أَنْتُمْ بَشَرٌ تَنْتَشِرُونَ، وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ، وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ، وَمِنْ آيَاتِهِ مَنَامُكُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَابْتِغَاؤُكُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَسْمَعُونَ، وَمِنْ آيَاتِهِ يُرِيكُمُ الْبَرْقَ خَوْفًا وَطَمَعًا وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَيُحْيِي بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ، وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ تَقُومَ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِذَا دَعَاكُمْ دَعْوَةً مِنَ الْأَرْضِ إِذَا أَنْتُمْ تَخْرُجُونَ “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu menjadi manusia yang berkembang biak. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk menimbulkan ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya. Kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu juga kamu keluar dari kubur.” QS al-Rum 20-25 [10] Dalil argumentasi ini dikenal dengan nama-nama yang lain seperti دَلِيْلُ الْاِخْتِرَاعِ dan دَلِيْلُ الْحُدُوْثِ. Perlu diingat dalil al-huduts yang dimaksud الدَّلِيْلُ بِالْحُدُوْثِ عَلَى الْمُحْدِثِ adalah pendalilan dengan “kejadian yang baru” dari yang sebelumnya tidak ada menjadi ada yang menunjukan adanya “yang menjadikan.” Pendalilan ini berbeda dengan الدَّلِيْلُ بِالأَعْرَاضِ عَلَى الْحُدُوْثِ, “Pendalilan dengan adanya a’radh aksiden untuk menunjukan adanya kebaharuan huduts.” Hal ini dikarenakan kebaharuan makhluk merupakan perkara aksiomatis yang sangat jelas badahi yang langsung bisa ditangkap, sehingga tidak memerlukan lagi argumentasi untuk hal itu. Contoh “turunnya hujan” itu sangat jelas menunjukan bahwa hujan itu baharu, karena akal langsung bisa menangkap bahwa hujan sebelumnya tidak ada, lalu turun, dan nantinya berkahir. Dengan demikian, tidak perlu mencari dalil “Apa bukti bahwa hujan itu حَادِثٌ hadits baharu, sebelumnya tidak ada menjadi ada?” Sebagaimana halnya manusia berasal dari mani, buah-buahan berasal dari pohon, munculnya tetumbuhan dari tanah, dan yang semisalnya, maka huduts-nya secara otomatis langsung bisa diketahui. Inilah pendalilan al-Quran, yaitu berdalil dengan huduts dari tidak ada menjadi ada untuk menunjukan adanya muhdits penciptanya. Allah berfirman قَالَ كَذَلِكَ قَالَ رَبُّكَ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ وَقَدْ خَلَقْتُكَ مِنْ قَبْلُ وَلَمْ تَكُ شَيْئًا “Tuhan berfirman Demikianlah.’ Tuhan berfirman Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan sesunguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu di waktu itu belum ada sama sekali.’” QS Maryam 9 أَوَلَا يَذْكُرُ الْإِنْسَانُ أَنَّا خَلَقْنَاهُ مِنْ قَبْلُ وَلَمْ يَكُ شَيْئًا “Dan tidakkah manusia itu memikirkan bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakannya dahulu, sedang ia tidak ada sama sekali.” QS Maryam 67. Lihat penjelasan Ibnu Taimiyyah dalam Dar` al-Ta’arudh, vol. VII, hlm. 219. Adapun para pegiat ilmu Kalam, maka mereka membahas الدَّلِيْلُ عَلَى الْحُدُوْثِ “Apa dalilnya bahwa alam ini baharu?” Kemudian mereka terjebak dengan دَلِيْلُ الأَعْرَاضِ dan pada akhirnya mereka justru menolak sifat-sifat Allah. Ini karena penyimpulan dalil a’radh aksiden bahwa adanya التَّغَيُّرُ “perubahan” merupakan dalil kebaharuan sesuatu tersebut. Akhirnya mereka menyimpulkan bahwa Pencipta tidak boleh mengalami “perubahan”, sehingga Tuhan harus statis. Lalu mereka pun menolak sifat-sifat ikhtiyariyyah fi’liyyah, perbuatan-perbuatan Tuhan. Padahal secara akal, namanya perubahan tidak melazimkan adanya huduts dalam arti dari tidak ada menjadi ada, apalagi sampai dijadikan suatu kelaziman yang absolut. [11] Lihat penjelasan Ibn al-Rusyd dalam al-Kasyf an Manahij al-Adillah fi Aqaid al-Millah, hlm. 150-151. [12] Sang Pencipta المُحْدِثُ tersebut bisa ada dua kemungkinan Pertama Pencipta yang sempurna ilatnya sebabnya, kausalitasnya sehingga ma’lul akibat, efek kausalitasnya, yaitu makhluk muncul bersamaan dengan ilat. Konsekuensi pandangan ini Alam semesta makhluk bersifat qadim azali bersama dengan azalinya sang pencipta. Ini tentu bertentangan dengan realita. Sebab kita tahu betapa banyak isi alam ini yang dimulai dari ketiadaan dan tidak azali. Sang Pencipta adalah مُوْجِبٌ بِذأتِهِ, yaitu secara konsekuensi zatnya harus menciptakan makhluknya. Ini melazimkan Tuhan menciptakan tanpa kehendak. Sebab mau tidak mau Tuhan disertai makhluk sebagai kelaziman zatnya. Realitanya tidak demikian. Perbedaaan-perbedaan makhluk dengan keistimewaannya masing-masing menunjukan bahwa Sang Pencipta memiliki kehendak pada keberadaan makhluknya. Jika ilat sebab dan ma’lul akibat muncul bersamaan, maka tidak akan diketahui mana sebab dan mana akibat. Karena keduanya muncul bersamaan, dan bisa jadi malah terjadi keterbalikan sebab menjadi akibat, dan akibat menjadi sebab. Kedua Pencipta tersebut sempurna ilatnya namun memiliki iradah kehendak, sehingga Sang Pencipta dan makhluknya eksistensinya tidaklah ada secara bersamaan. Meskipun kemampuan Tuhan untuk mencipta sudah ada sejak azali, akan tetapi eksistensi makhluk itu barulah menjadi ada, setelah Tuhan menghendaki keberadaannya dari yang sebelumnya tiada. Berbeda halnya dengan eksistensi Tuhan yang selalu ada dan tidak pernah tiada. Inilah pandangan yang tepat. Jika Allah menciptakan sesuatu, maka Allah berkehendak sesuatu itu ada, lalu menciptakannya, hingga terjadilah sesuatu ciptaan itu. إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ “Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya Jadilah!’ maka terjadilah ia.” QS Yasin 82 Lihat penjelasan Ibnu Taimiyyah dan bantahan beliau terhadap para filsuf yang menyatakan keazalian alam dalam al-Radd alal-Manthiqiyyin, hlm. 147-149, Majmu’ al-Fatawa, vol. IX, hlm. 139-140, dan al-Shafadiyyah, vol. I, hlm. 10-16. [13] Lihat al-Kasyf an Manahij al-Adillah fi Aqaid al-Millah, karya Ibnu Rusyd, hlm. 194-195. [14] Lihat Tafsir al-Qurthubi, vol. XVIII, hlm. 208. [15] Lihat al-Adillah al-Aqliyyah al-Naqliyyah, Sa’ud al-Arifi, hlm. 237-238. [16] Hal ini telah disinggung oleh Ibnu Taimiyyah dalam al-Nubuwwat, vol. II, hlm. 922, dan Minhaj al-Sunnah an-Nabawiyyah, vol. V, hlm. 415-516. [17] Most Moved Mover A Theology of God’s Openness Carlisle Paternoster Press, 2002, p. 2, sebagaimana dikutip oleh Dr. Sami Amiri dalam Barahin Wujudillah, hlm. 677. [18] Bahkan air mani pun yang ada dalam tubuh manusia juga bukan ciptaan manusia dan di luar kendalinya. Allah berfirman أَفَرَأَيْتُمْ مَا تُمْنُونَ، أَأَنْتُمْ تَخْلُقُونَهُ أَمْ نَحْنُ الْخَالِقُونَ “Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah air mani yang kamu pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau Kamikah yang menciptakannya?” QS al-Waqi’ah 58-59 Di antara bukti bahwa air mani adalah ciptaan Allah sehingga manusia adalah ciptaan Allah dan bukan ciptaan orang tuanya Seorang manusia sejak kecil tidak bisa mengeluarkan air mani. Setelah ia mencapai usia dewasa maka ia pun bisa memproduksi air mani. Jadi air mani tersebut muncul bukan karena kehendaknya. Betapa banyak orang yang menggauli istrinya -sementara ia normal dan istrinya pun normal- namun tidak bisa menghasilkan anak. Sebagian mereka hanya bisa memiliki 2 orang anak, misalnya. Padahal mereka tidak mengikuti program KB. Demikian pula ketika seorang lelaki telah mencapai masa tua maka air maninya berkurang dan akhirnya terputus produksi air maninya. Seorang lelaki tatkala menggauli istrinya ia tidak bisa menghendaki anak sesuai dengan kemauannya. Ia tidak bisa mengatur anaknya lelaki atau perempuan, tampan atau tidak, cerdas atau tidak, putih atau berkulis sawo atau hitam. Ia pun tidak bisa mengatakan bahwa anak ini akan hidup selama sekian puluh tahun, misalnya. Ini semua menunjukan bahwa manusia adalah ciptaan Allah bukan ciptaan orang tuanya. Allah yang menentukan bentuk manusia tersebut, kapan ajalnya, berapa rizkinya, dan seterusnya. [19] Adapun terjadinya banjir di berbagai negeri maka itu adalah taqdir Allah yang penuh hikmah, di antaranya Agar manusia tahu bahwasanya hujan itu ada yang mengaturnya, yaitu Allah. Allah mampu mengubah aturannya dengan menahannya, sehingga terjadi kemarau, atau menurunkannya secara berlebihan, sehingga terjadi banjir. Sebagai bentuk peringatan kepada sebagian manusia agar kembali kepada Allah dan berhenti dari dosa-dosa yang mereka lakukan. Atau sebagai hukuman bagi sebagian manusia sebagaimana Allah timpakan azab kepada kaum Nabi Nuh. [20] Lihat al-Adillah al-Aqliyah al-Naqliyah ala Ushul al-I’tiqad, Sa’ud al-Arifi, hlm. 294. [21] Ibnu Taimiyyah berkata الَّذِي ذَكَرَهُ النُّظَّارُ عَنِ الْمُتَكَلِّمِيْنَ، الَّذِي سَمَّوْهُ دَلِيْلَ التَّمَانُعِ، بُرْهَانٌ تَامٌّ عَلَى مَقْصُوْدِهِمْ، وَهُوَ امْتِنَاعُ صُدُوْرِ الْعَالَمِ عَنِ اثْنَيْنِ وَإِنْ كَانَ هَذَا هُوَ تَوْحِيْدُ الرُّبُوْبِيَّةِ. وَالْقُرْآنُ يُبَيِّنُ تَوْحِيْدَ الإِلَهِيَّةِ وَتَوْحِيْدَ الرُّبُوْبِيَّةِ…بَلْ هُوَ بُرْهَانٌ صَحِيْحٌ عَقْلِيٌّ “Argumentasi yang disebutkan oleh para peneliti dari Ahli Kalam, yang mereka namakan dengan Dalil Tamanu’ merupakan bukti yang sempurna tepat dengan tujuan mereka, yaitu kemustahilan munculnya alam semesta dari dua tuhan. Meskipun dalil ini berkaitan dengan tauhid Rububiyyah, sementara al-Quran menjelaskan tauhid Uluhiyyah sekaligus tauhid Rububiyyah…. Namun, Dalil Tamanu’ adalah dalil akal yang benar.” Lihat Dar`ut-Ta’arudh, vol. IX, hlm. 354. [22] Lihat Tamhid al-Awail, al-Baqillani, hlm. 45, Syarh al-Maqashid, al-Taftazani, vol. IV, hlm. 35, Ma’alim Ushul al-Din, al-Razi, hlm. 79-80, dan al-Mawaqif, al-Iji, hlm. 279. [23] Lihat Majmu’ al-Fatawa, vol. XX, hlm. 176. Ada sejumlah kritik yang dilontarkan oleh sebagian ulama yang kontra dengan Dalil Tamanu’ tersebut. Intinya, mereka menyatakan adanya dua tuhan tidak melazimkan terjadinya Tamanu’ keduanya tidak harus bertengkar dan berkontradiksi. Mereka menyebutkan adanya kemungkinan lain, di antaranya Pertama Kedua tuhan tersebut bersepakat. Tuhan pertama menciptakan sebagian objek, dan tuhan lainnya menyelesaikan bagian yang lainnya dari objek tersebut. Kemungkinan ini disebutkan oleh Ibnu Rusyd. Beliau berkata, “Mungkin saja kedua tuhan tersebut bermitra. Ini lebih layak bagi para tuhan itu ketimbang berselisih. Jika keduanya bersepakat untuk menciptakan alam, maka seperti dua pencipta yang bekerjasama dalam membuat satu objek ciptaan. Jika perkaranya demikian maka harus dikatakan bahwa perbuatan keduanya merupakan bentuk kerjasama karena pada objek yang sama. Kecuali jika dikatakan “bisa jadi tuhan pertama melakukan sebagian objek, dan yang kedua menciptakan bagian lain dari objek tersebut.” Atau bisa jadi keduanya menciptakan objek secara bergantian الْمُدَاوَلَةُ/التَّدَاوُلُ.” Lihat al-Kasyf an Manahij al-Adillah, hlm. 157-158. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa kemungkinan cara “bergantian” tidak pas karena menunjukan kekurangan pada kedua tuhan tersebut. Yang memungkinkan menurut beliau adalah kerjasama di antara kedua tuhan namun bukan dengan cara “bergantian mencipta”. Sehingga dengan penjelasan ini Ibnu Rusyd tidak setuju dengan Dalil Tamanu’. Namun sebagaimana telah lalu penjelasan Ibnu Taimiyyah bahwa kemungkinan ini tidak bisa membatalkan argumentasi Dalil Tamanu’. Sebab Kerjasama itu menunjukan bahwa keduanya saling membutuhkan, dan yang berkebutuhan demikian tidak pantas menjadi tuhan. Lihat Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah, vol. XX, hlm. 176. Kedua Bisa jadi qudrah kemampuan masing-masing tuhan mampu untuk mewujudkan kehendaknya, dengan syarat tuhan yang lain tidak ikut menciptakan objek yang sama bersamaan dengan itu. Ini tidaklah menjatuhkan qudrah dari masing-masing tuhan. Kemungkinan ini pun tidak tepat. Artinya, sejatinya masing-masing tuhan itu tidak mampu. Sebab qudrah-nya tidak mutlak melainkan bersyarat, yaitu dengan syarat tuhan yang lain tidak mengganggu dan membiarkannya mencipta. Ini menunjukan bahwa tuhan tersebut tidak memiliki kemampuan secara independen, melainkan ia hanya bisa mencipta apabila dizinkan oleh tuhan yang lain. Dengan demikian kemungkinan ini juga tidak bisa membatalkan Dalil Tamanu’. Lihat penjelasan Ibnu Taimiyyah dalam Dar`ut-Ta’arudh, vol. IX, hlm. 362. Ketiga Masing-masing tuhan tersebut memiliki ilmu tentang sisi-sisi maslahat dan sisi-sisi mudarat, yang dengan ilmu tersebut keduanya saling menghormati dan tidak berselisih. Di antaranya masing-masing tahu bahwa jika tuhan yang satu telah menciptakan suatu objek maka ia tidak akan mengganggu untuk mencipta lawan dari objek tersebut. Kemungkinan ini tidak tepat karena pembahasan Dalil Tamanu’ adalah jika maslahat antara menggerakan objek dan mendiamkan objek adalah sama, yaitu tuhan yang ingin menggerakan memiliki kemaslahatan yang sama dengan kemaslahatan yang dipandang oleh tuhan yang ingin mendiamkan. Lihat Syarh al-Maqashid, vol. IV, hlm. 36. Dengan demikian maka Dalil Tamanu’ adalah dalil aqliy yang benar dan bisa digunakan sebagai argumentasi yang menunjukan bahwa tuhan hanyalah satu. Lihat al-Adillah al-Aqliyyah al-Naqliyyah, Sa’ud al-Arifi, hlm. 301. Penulis pernah bertemu dengan seorang mualaf yang bercerita bahwa sebab ia masuk Islam karena ia berfikir jika tuhan lebih dari satu, maka setiap keputusan di bumi ini harus dirundingkan oleh tuhan-tuhan tersebut. Tentu ini perkara yang sulit dengan banyaknya keputusan yang diambil dalam setiap saat di alam semesta. Kapan para tuhan tersebut harus berunding? Apakah tidak terjadi diskusi dan perdebatan di antara mereka? [24] Lihat al-Kasyf an Manahij al-Adillah, suntingan Abdul-Hamid Badawi, hlm. 155. [25] Lihat penjelasan panjang Ibnu Taimiyyah dalam Minhaj al-Sunnah, vol. III, hlm. 313-325. [26] Lihat al-Adillah al-Aqliyyah al-Naqliyyah ala Ushul al-I’tiqad, hlm. 332. [27] Inilah sisi pendalilan yang diutarakan oleh Ibnu Rusyd dalam al-Kasyf an Manahij al-Adillah, hlm. 155. [28] Lihat kritik Ibnu Taimiyyah dalam Dar`ut-Ta’arudh, hlm. IX, hlm. 344. [29] Lihat penjelasan Ibnu Abil-Izz al-Hanafi dalam Syarh al-Aqidah al-Thahawiyah, vol. I, hlm. 40. [30] Ini adalah pendapat al-Baghawi dalam Tafsir-nya, vol. V, hlm. 314, Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya, vol. V, hlm. 337 dan 491, dimana beliau menganggap ayat ini semakna dengan QS al-Mukminun 91 yang merupakan Dalil Tamanu’, al-Syaukani dalam Fathul-Qadir, vol. III, hlm. 475, dan al-Sa’di dalam Tafsir-nya, hlm. 521. [31] Lihat Dar`ut-Ta’arudh, vol. IX, hlm. 349-351.

22 Pengertian Tauhid Rububiyyah. Rububiyah Allah adalah mengesakan Allah dalam tiga perkara yaitu penciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan pengaturan-Nya. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Allah Pencipta sesuatu dan Dia Maha Pemelihara atas segala sesuatu " (Az-Zumar: 62) Bahwasanya Dia adalah Pemberi rizki bagi setiap manusia, binatang
Lafal Allah Foto dok rububiyah yang berarti mengesakan Allah dalam penciptaan, kekuasaan, kepemilikian dan kewenangan Allah sebagai satu-satunya zat yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Selain tauhid rububiyah, terdapat juga tauhid uluhiyah yang juga memiliki hubungan erat dengan tauhid rububiyah. Tak hanya itu, pengetahuan tentang makna tauhid itu sendiri juga perlu dipahami dengan baik agar dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Rububiyah dan MaknanyaTauhid rububiyah yang merupakan salah satu bentuk tauhid atau mengesakan Allah ini memiliki arti beriman hanya kepada Allah, satu-satunya Zat yang memiliki kekuasaan mutlak, memiliki hak mutlak untuk mengatur, menciptakan, merencanakan, hingga menjaga jalannya alam semesta. Tauhid rububiyah ini sering kita jumpai dalilnya dalam Alquran yang menerangkan tentang kekuasaan Allah. Salah satu ayat Alquran yang menerangkan tentang kekuasaan Allah adalah surat Az Zumar ayat 62 yang memiliki arti “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu” ini tentu menunjukan secara mutlak bahwa Allah merupakan satu-satunya Zat yang memiliki kekuasaan atas alam semesta mulai dari hidup hingga matinya Allah Foto dok PixelsTak hanya surat Az Zumar, dalam surat lain juga dijelaskan bahwa Allah adalah Zat yang memiliki hak dan kekuasaan untuk menciptakan makhluk dan juga memerintahkan makhluk-Nya. Seperti yang tertuang dalam surat Al Araf ayat 54 berikut iniأَلاَلَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِينَArtinya “Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah” Al- A’raf 54.Tauhid yang berarti mengesakan Allah dan termasuk ke dalam kaidah islam yang menyatakan keesaan Allah, ini menunjukan bahwa agama Islam mengajarkan bahwa Allah adalah Esa atau satu dan tidak memiliki sekutu atau bahkan zat lain yang dapat menyerupai Allah. Tauhid ini dapat diamalkan manusia dengan wujud tidak melakukan syirik kepada Allah dengan mempercayai tukang sihir atau hal-hal yang berbau syirik rububiyah ini ternyata memiliki hubungan yang erat satu sama lainnya dengan tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Tauhid ibadah adalah mengesakan Allah dalam segala bentuk ibadah. Ini berarti seseorang beribadah hanya niat dan hanya kepada Allah tanpa ada sekutu rububiyah dan tauhid uluhiyah dikatakan memiliki hubungan yang erat karena jika seseorang beribadah hanya kepada Allah tanpa menyekutukan Allah dengan niat hanya karena Allah, pasti dia meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya Zat yang memiliki kekuasaan mutlak atas semua hal yang ada di alam semesta. DA
TauhidRububiyah mencakup dimensi-dimensi keimanan berikut ini: Pertama : Beriman kepada perbuatan-perbuatan Allah yang bersifat umum. Misalnya menciptakan, memberi rezeki, menghidupkan, mematikan, menguasai, dan lain-lain. Kedua : Beriman kepada takdir Allah. Ketiga : Beriman kepada Zat Allah SWT. [3] الإِلْحَادُ فِي تَوْحِيْدِ الرُّبُوْبِيَّةِ Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA. Penyimpangan dalam tauhid ar-Rububiyah ada 2 macam Pertama نَوَاقِضُ تَوْحِيْدِ الرُّبُوْبِيَّةِ Pembatal-pembatal tauhid ar-Rububiyah Jika seseorang terjerumus dalam pembatal-pembatal tersebut maka tauhid ar-Rububiyahnya batal dan ia terjerumus dalam syirik akbar Kedua نَوَاقِصُ تَوْحِيْدِ الرُّبُوْبِيَّةِ Pengurang kemurnian tauhid Ar-Rububiyah. Jika seseorang terjerumus dalam pengurang-pengurang ini, maka imannya tidak batal hanya saja ia terjerumus dalam syirik kecil ashghor. Pembatal-Pembatal tauhid rububiyyah diantaranya Pertama Atheism الْقَوْلُ بِعَدَمِ الرَّبِّakan datang pembahasan khusus akan hal ini di akhir pembahasan Kedua Berbilangnya Pencipta القَوْلُ بِتَعَدُّدِ الآلِهَةِ Perkataan ini bathil karena bertentangan dengan firman Allah, قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ Katakanlah “Dialah Allah, Yang Maha Esa.” QS Al-Ikhlas 1 Nabi juga berfirman, إِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ “Sesungguhnya Allah itu Witr dan menyukai yang witr ganjil.” HR. Bukhari no. 6410 dan Muslim no. 2677 Diantara kelompok yang berpemahaman ini, Pertama Dualisme Yaitu meyakini ada dua tuhan. Ada beberapa kelompok yang meyakini dualisme, diantatanya Tsunawiyah, yaitu meyakini bahwa cahaya dan kegelapan adalah dua perkara yang azali. Namun meskipun mereka mengganggap cahaya dan kegelapan sama-sama azali akan tetapi tetap keduanya berbeda dalam banyak hal, dalam dzat, tabi’at, perbuatan, jenis, tempat lokasi, dan lainnya. Majusi, yang meyakini bahwa ada dua kekuatan di alam semesta yaitu cahaya/api dan kegelapan, hanya saja yang qodim azali adalah cahaya. Sementara kegelapan adalah hadits tidak qodim Al-Manawiyah, yaitu pengikut Mani bin Fatak. Mereka meyakini bahwa alam ini tercipta dari dua dzat yang azali, akan tetapi mereka berpendapat bahwa keduanya berbeda dari sisi jiwa, bentuk, perbuatan, dan pengaturan. Bedanya dengan Tsunawiah al-Manawiyah tidak menyatakan bahwa kedanya adalah cahaya dan kegelapan. Kedua Trinitas Yaitu meyakini 3 Tuhan. Diantara yang berkeyakinan trinitas adalah Hindu, yang mengatakan tuhan itu ada brahmana, wisnu, dan siwa. Nasrani, yang mengatakan tuhan itu ada tuhan bapa, tuhan anak, dan tuhan roh kudus Kelompok-kelompok yang mengakui bahwa tuhan ada dua atau tiga, naluri mereka tetap saja meyakini akan adanya tuhan yang satu. Kaum Nasrani yang meyakini tiga tuhan tetap berusaha mengatakan 3 sama dengan 1, kaum Hindu tetap meyakini Brahmana- lah tuhan yang paling top diantara semuanya, demikian pula Majusi yang meyakini tuhan api yang paling top. Ibnu Taimiyyah berkata أَنَّ إِثْبَاتَ رَبَّيْنِ لِلْعَالَمِ لَمْ يَذْهَبْ إِلَيْهِ أَحَدٌ مِنْ بَنِي آدَمَ، وَلاَ أَثْبَتَ أَحَدٌ إِلَهَيْنِ مُتَمَاثِلَيْنِ، وَلاَ مُتَسَاوِيَيْنِ فِي الصِّفَاتِ وَلاَ فِي الأَفْعَالِ، وَلاَ أَثْبَتَ أَحَدٌ قَدِيْمَيْنِ مُتَمَاثِلَيْنِ، وَلاَ وَاجِبَيْ الْوُجُوْدِ مُتَمَاثِلَيْنِ، وَلَكِنَّ الإِشْرَاكَ الَّذِي وَقَعَ فِي الْعَالَمِ إِنَّمَا وَقَعَ بِجَعْلِ بَعْضِ الْمَخْلُوْقَاتِ مَخْلُوْقَةً لِغَيْرِ اللهِ فِي الإِلَهِيَّةِ بِعِبَادَةِ غَيْرِ اللهِ تَعَالَى، وَاتِّخَاذِ الْوَسَائِطِ وَدُعَائِهَا وَالتَّقَرُّبِ إِلَيْهَا، كَمَا فَعَلَ عُبَّادُ الشَّمْسِ وَالْقَمَرِ وَالْكَوَاكِبِ وَالأَوْثَانِ، وَعُبَّادِ الأَنْبِيَاءِ وَالْمَلاَئِكَةِ أَوْ تَمَاثِيْلِهِمْ وَنَحْوِ ذَلِكَ. فَأَمَّا إِثْبَاتُ خَالِقَيْنِ لِلْعَالَمِ مُتَمَاثِلَيْنِ فَلَمْ يَذْهَبْ إِلَيْهِ أَحَدٌ مِنَ الآدَمِيِيْنَ “Sesungguhnya menetapkan dua Tuhan bagi alam maka tidak seorangpun dari keturunan Adam yang berpendapat demikian. Demikian juga tidak seorangpun yang menetapkan adanya dua sesembahan yang sama persis, atau menetapkan dua sesembahan yang sama persis dalam sifat-sifatnya atau perbuatan-perbuatannya, dan tidak seorangpun menetapkan dua qodim azali yang sama persis, tidak juga wajibul wujud yang sama persis. Akan tetapi kesyirikan yang terjadi di alam hanyalah terjadi dengan menjadikan sebagian makhluk adalah makhluk bagi selain Allah dalam peribadatan, yaitu dengan beribadah kepada selain Allah, demikian juga mengambil perantara-perantara lalu berdoa kepadanya dan bertaqorrub kepadanya. Sebagaimana yang dilakukan oleh para penyembah matahari, rembulan, bintang-bintang, berhala-berhala. Juga para penyembah para nabi dan para malaikat, atau patung-patung mereka dan yang semisalnya. Adapun menetapkan adanya 2 pencipta alam yang sama persis maka tidak seorangpun dari keturunan Adam yang berpendapat demikian” [1] Ketiga Adanya Tuhan selain Allah القَوْلُ بِوُجُوْدِ الرَّبِّ غَيْرِ الله Seperti Firaun yang mengaku dirinya adalah tuhan, demikian pula Namrud, atau Budha Sidharta Gautama yang diyakini oleh para pengikutnya sebagai tuhan. Firaun mengaku dirinya sebagai tuhan padahal dia tahu bahwa dirinya bukanlah tuhan. Allah berfirman tentang perkataan Musa, قَالَ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا أَنزَلَ هَٰؤُلَاءِ إِلَّا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ بَصَائِرَ وَإِنِّي لَأَظُنُّكَ يَا فِرْعَوْنُ مَثْبُورًا Musa menjawab “Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan Yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata; dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir’aun, seorang yang akan binasa”. QS Al-Isra’ 102 Orang pertama yang mengetahui kebohongan Fir’aun adalah dirinya sendiri. Ia tahu bahwa ia bukanlah tuhan, betapa banyak hal yang tidak mampu ia kerjakan, dan betapa ia tahu kelemahan dirinya akan tetapi karena kesombongan semata ia mengaku tuhan. Allah berfirman وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan mereka padahal hati mereka meyakini kebenarannya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan QS An-Naml 14 Adapun kaumnya mengaku Firáun sebagai tuhan hanya karena dibodohi oleh Firáun. Allah berfirman وَنَادَى فِرْعَوْنُ فِي قَوْمِهِ قَالَ يَا قَوْمِ أَلَيْسَ لِي مُلْكُ مِصْرَ وَهَذِهِ الْأَنْهَارُ تَجْرِي مِنْ تَحْتِي أَفَلَا تُبْصِرُونَ، أَمْ أَنَا خَيْرٌ مِنْ هَذَا الَّذِي هُوَ مَهِينٌ وَلَا يَكَادُ يُبِينُ، فَلَوْلَا أُلْقِيَ عَلَيْهِ أَسْوِرَةٌ مِنْ ذَهَبٍ أَوْ جَاءَ مَعَهُ الْمَلَائِكَةُ مُقْتَرِنِينَ، فَاسْتَخَفَّ قَوْمَهُ فَأَطَاعُوهُ إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ Dan Fir´aun berseru kepada kaumnya seraya berkata “Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan bukankah sungai-sungai ini mengalir di bawahku; maka apakah kamu tidak melihatnya. Bukankah aku lebih baik dari orang yang hina ini dan yang hampir tidak dapat menjelaskan perkataannya. Mengapa tidak dipakaikan kepadanya gelang dari emas atau malaikat datang bersama-sama dia untuk mengiringkannya?. Maka Fir´aun mempengaruhi kaumnya dengan perkataan itu lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik. QS Az-Zukhruf 51-54 Namrud juga mengaku dirinya tuhan, sebagaimana saat Nabi Ibrahim berdialog dengan Namrud, أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ آتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ ۖ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya Allah karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan kekuasaan. Ketika Ibrahim mengatakan “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata “Saya dapat menghidupkan dan mematikan”.Ibrahim berkata “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,” lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. QS Al-Baqarah 258 Berbeda dengan Budha, dirinya tidak pernah mengaku sebagai tuhan, pengikut-pengikutnya yang berlebihan lah yang kemudian mempertuhankannya. Budha tidak pernah menciptakan apa-apa, Budha hanyalah orang bijak, bahkan sahabat-sahabatnya di zaman awal juga tidak mempertuhankannya. Demikian pula Nabi Isa, sahabat-sahabatnya sama sekali tidak menyembah Nabi Isa, hingga datang Paulus dan pengikut-pengikutnya di zaman belakangan mulailah melakukan penyembahan terhadap Isa. Keempat Azalinya alam الْقَوْلُ بِقِدَمِ الْعَالَمِ Mereka mengatakan bahwa alam itu ada bersamaan dengan adanya tuhan, bukan adanya tuhan lalu tuhan menciptakan alam. Jelas ini perkataan yang bathil karena mengingkari sifat “mencipta” Tuhan. Nabi bersabda كَانَ اللَّهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ “Dahulu Allah sendirian dan tidak ada sesuatupun selainNya” HR Al-Bukhari no 3191 Hal ini adalah keyakinan sebagian kaum falasifah seperti Ibnu Sina dan Faarobi. Kelima Adanya yang mengatur sebagian alam semesta selain Allah tetapi dengan izin Allah الْقَوْلُ بِوُجُوْدِ الْمُدَبِّرِ غَيْرِ اللهِ بِإِذْنِ الله Seperti anggapan sebagian manusia yang meyakini bahwa Allah memberikan hak otonomi kepada sebagian makhluknya untuk mengatur sebagian dari alam. Namun yang benar adalah Allah tidak pernah memberikan satu pun hak otonomi kepada selain diri-Nya untuk mengatur sebagian alam, bahkan malaikat pun tidak. Jika dikatakan bahwa ada malaikat yang mengatur hujan, maka itu hanyalah sekadar melaksanakan perintah Allah saja, adapun hak untuk mengaturnya malaikat tidak memilikinya. Oleh karena itu, keyakinan sebagian orang bahwa pantai selatan diatur oleh Nyi Roro Kidul adalah perkataan bathil dan merupakan kesyirikan di dalam bab tauhid rububiyyah. Demikian juga keyakinan sebagian orang bahwa gunung tertentu diatur oleh jin atau penunggunya juga merupakan kesyirikan dalam tauhid ar-Rububiyah. Demikian juga keyakinan sebagian kaum Syiáh Rofidhoh yang menyatakan bahwa dunia dan akhirat adalah milik para imam mereka, dimana para imam mengaturnya sesuai dengan yang mereka kehendaki. Mereka meyakini bahwa para imam mereka mengetahui ilmu ghaib, mereka mengetahui kapan mereka mati dan mereka tidak mati kecuali dengan izin mereka. Demikian juga keyakinan sebagian kaum sufiyah yang menyatakan bahwa As-Syaikh Abdul Qodir al-Jailani telah diberi “kun” oleh Allah, sehingga ia bisa menyatakan “kun fayakun” dengan izin Allah. Ali Al-Faasi, penulis kitab Jawaahirul Ma’aani fi Faydi Sayyidi Abil Abaas At-Tiijaani, menukil perkataan At-Tijani “Adapun perkataan penanya Apa makna perkataan Syaikh Abdul Qodir Al-Jailaani radhiallahu anhu “Dan perintahku dengan perintah Allah, jika aku berkata kun jadi maka yakun terjadilah” …dan juga perkataan sebagian mereka “Wahai angin tenanglah terhadap mereka dengan izinku” dan perkataan-perkataan para pembesar yang lain radhiallahu anhum, yang semisal ini maka perkataan Abdul Qodir al-Jailany radhiallahu anhu. Maknanya adalah Allah memberikan kepada mereka Khilaafah Al-Udzma kerajaan besar dan Allah menjadikan mereka khalifah atas kerajaan Allah dengan penyerahan kekuasaan secara umum, agar mereka bisa melakukan di kerajaan Allah apa saja yang mereka kehendaki. Dan Allah memberikan mereka kuasa kalimat “kun”, kapan saja mereka berkata kepada sesuatu “kun” jadilah maka terjadilah tatkala itu” [2] Keenam Keyakinan wihdatul wujud/hululiyyah/ittihadiyah وِحْدَةُ الْوُجُوْدِ Ini adalah perkataan Ibnu Arabi dan pengikut-pengikutnya, mereka mengatakan bahwa Allah bersatu dengan makhluk. Sesungguhnya pemahaman ini lebih kufur daripada Nasrani, jika sebagian Nasrani berkata bahwa Allah bersatu dengan Nabi Isa seorang, adapun wihdatul wujud meyakini Allah bersatu dengan semua makhluk. Ketujuh Keyakinan bahwa berhala memberi manfaat dan mudorot Kedelapan Berhukum dengan selain hukum Allah, seraya meyakini bahwa selain Allah berhak juga untuk mengeluarkan hukum yang setara dengan hukum Allah, atau lebih baik dari hukum Allah. Hal ini merupakan pembatal tauhid ar-Rububiyah karena Allah maha esa dalam menetapkan hukum-hukum, ketika seseorang meyakini ada selain Allah yang juga boleh menetapkan hukum yang nilainya sama dengan hukum Allah atau lebih baik maka pada dasarnya ia telah membatalkan tauhid ar-Rububiyahnya. Kesembilan Keyakinan bahwa gerakan/munculnya bintang dan planet mempengaruhi kejadian alam الاِعْتِقَاُد بِتَأْثِيْرِ النُّجُوْمِ وَالْكَوَاكِبِ عَلَى الحَوَادِثِ الأَرْضِيَّةِ Hal ini membatalkan tauhid ar-Rububiyah karena meyakini bahwa benda-benda langit yang merupakan benda mati ikut mempengaruhi peristiwa-peristiwa di bumi. Padahal yang menentukan kejadian-kejadian alam hanyalah Allah semata. Hal-hal yang mengotori kemurnian tauhid ar-Rububiyah نَوَاقِصُ تَوْحِيْدِ الرُّبُوْبِيَّةِ Diantara hal-hal yang mengurangi nilai tauhid ar-Rububiyah dan mengotori kemurniannya adalah Pertama Bersumpah dengan selain Allah Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ “Barang siapa yang bersumpah dengan selain Allah maka ia telah berbuat kekufuran atau berbuat kesyirikan” [3] Tidaklah seseorang bersumpah dengan selain Allah kecuali mengagungkannya. Jika ternyata ia memandang sesuatu tersebut keagungannya sama dengan Allah maka ia telah terjerumus dalam syirik besar, jika tidak maka ia terjerumus dalam syirik kecil. [4] Kedua Menyandarkan nikmat kepada selain Allah. Meskipun dengan meyakini bahwa selain Allah tersebut hanyalah sebab, akan tetapi seharusnya nikmat disandarkan kepada pemberi nikmat yang sesungguhnya. Seperti perkataan, “Kalau bukan polisi tentu saya sudah dirampok”, “Kalau bukan kelihaian nahkoda tentu kapal sudah tenggelam”, dan semisalnya. Justru dalam kondisi bersyukur karena selamat dari keburukan atau kekawatiran seharusnya seseorang mengingat Allah bukan malah mengingat sebab. Karena hal ini mengurangi nilai tauhid ar-Ribubiyah, yaitu meyakini bahwa hanya Allah yang mengatur alam semesta, dan hanya Allah yang memberikan segala kenikmatan. Ketiga Menyandarkan kenikmatan kepada Allah dan juga kepada selain Allah dengan kata gandeng seperti kata gandeng “dan” yang mengesankan persamaan. Contoh mengatakan, مَا شَاءَ اللهُ وَشَاءَ فُلاَنٌ “Atas kehendak Allah dan kehendak si Fulan”. Atau berkata, لَوْلاَ اللهُ وَفُلاَنٌ “Kalau bukan karena Allah dan si fulan”. Karena kedua perkataan di atas menunjukan seakan-akan kehendak si fulan menyamai kehendak Allah dalam menentukan terjadinya kejadian. Rasulullah bersabda لاَ تَقُوْلُوا مَا شَاءَ اللهُ وَشَاءَ فُلاَنٌ، وَلَكِنْ قُوْلُوا مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ شَاءَ فُلاَنٌ “Janganlah kalian berkata, “Atas kehendak Allah dan kehendak si Fulan”, akan tetapi katakanlah, “Atas kehendak Allah lalu kehendak si Fulan” [5] Keempat Protes kepada taqdir Allah dengan mengatakan “seandainya”. Sabda Nabi ﷺ , الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ “Orang mukmin yang tangguh lebih baik dan lebih Allah cintai dibanding mukmin yang lemah dan pada keduanya terdapat kebaikan. Upayakanlah segala yang bermanfaat bagimu, dengan tetap meminta pertolongan dari Allah dan jangan pernah merasa lemah. Bila engkau ditimpa sesuatu maka jangan pernah berkata, “Seandainya aku berbuat demikian niscaya kejadiannya akan demikian dan demikian”. Namun ucapkanlah, “Ini adalah takdir Allah dan apapun yang Allah kehendaki pastilah terjadi”, karena sejatinya ucapan ”seandainya” hanyalah membuka pintu godaan setan.” [6] Karena seseorang ketika ditimpa dengan apa yang dia tidak sukai, lantas ia berkata, “Seandainya…”, maka seakan-akan ia tidak setuju dan protes kepada keputusan Allah. Seakan-akan ia tidak setuju dengan “pengaturan” rububiyah Allah. Seharusnya ia berkata “Ini adalah takdir Allah dan apapun yang Allah kehendaki pastilah terjadi” yang menunjukan ia pasrah dengan ketetapan Allah. Kelima Mencela masa/waktu/zaman Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, Abu Hurairah radhiallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, قَالَ تَعَالَى يُؤْذِيْنِيْ ابْنِ آدَم، يَسُبُّ الدَّهْر، وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَار “Allah Ta’ala berfirman, Anak Adam manusia menggangguku, mereka mencela masa padahal aku adalah pemilik dan pengatur masa. Akulah yang menjadikan mala dan siang silih berganti’.” Dalam riwayat yang lain dikatakan, لَا تَسُبُّوا الدَّهْر، فَإِنَّ اللهَ هُوَ الدَّهْر “Janganlah kalian mencela masa, karena Allah adalah Ad-Dahr itu sendiri.” Karena pada hakikatnya masa atau zaman tidaklah bisa berbuat apa-apa, ia diatur oleh Allah. Karenanya jika seseorang mencela masa sesungguhnya ia telah mencela sang pengaturnya yaitu Allah. Dan mencela pengaturan Allah berarti mencela rububiyah Allah. Keenam Mencela angin Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab radhiallahu anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda لاَ تَسُبُّوْا الرِّيْحَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مَا تَكْرَهُوْنَ فَقُوْلُوْا “Janganlah kamu mencaci maki angin. Apabila kamu melihat suatu hal yang tidak menyenangkan, maka berdoalah اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ هَذِهِ الرِّيْحِ، وَخَيْرِ مَا فِيْهَا، وَخَيْرِ مَا أُمِرَتْ، وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ هَذِهِ الرِّيْحِ، وَشَرِّ مَا فِيْهَا، وَشَرِّ مَا أُمِرَتْ بِهِ “Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan angin ini, dan kebaikan apa yang ada di dalamnya, dan kebaikan yang untuknya Kau perintahkan ia, dan kami berlindung kepada-Mu dari keburukan angin ini, dan keburukan yang ada di dalamnya, dan keburukan yang untuknya Kau perintahkan ia.” HR. Tirmudzi, dan hadits ini ia nyatakan shahih. Hal ini sama dengan yang sebelumnya mencela masa, karena angin tidaklah berkehendak, ia diatur oleh Allah. Jika seseorang mencela angin berarti ia mencela pengaturnya. Dan mencela pengaturan Allah berarti mencela rububiyah Allah. Ketujuh Keyakinan bahwa perbuatan hamba bukan ciptaan Allah الْقَوْلُ بِأَنَّ أَفْعَالَ الْعِبَادِ غَيْرُ مَخْلُوْقَةٍ Ini adalah perkataan kaum Qadariyyah, mereka meyakini bahwa ada hal yang tidak diciptakan oleh Allah di alam semesta ini, yaitu perbuatan hamba. Dengan demikian melazimkan ada pencipta selain Allah. Karenanya Nabi bersabda tentang qodariyah الْقَدَرِيَّةُ مَجُوسُ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِنْ مَرِضُوا فَلَا تَعُودُوهُمْ، وَإِنْ مَاتُوا فَلَا تَشْهَدُوهُمْ “Qodariyah adalah Majusi umat ini, jika mereka sakit maka jangan jenguk mereka, dan jika mereka mati maka jangan hadiri janazah mereka” [7] Hal ini karena majusi mengatakan bahwa ada dua pencipta, pencipta kebaikan yaitu cahaya/api, dan pencipta keburukan yaitu kegelapan. Sama halnya dengan qodariyah yang menyatakan bahwa keburukan perbuatan manusia tidak diciptakan oleh Allah. Kelaziman dari keyakinan qodariyah ini seharunya membatalkan bukan sekadar mengurangi nilai tauhid ar-Rububiyyah, hanya saja para ulama tidak mengkafirkan mereka karena syubhat yang ada pada mereka. Kedelapan Keyakinan bahwa “penciptaan” adalah “ciptaan/makhluk” itu sendiri الخَلْقُ هُوَ الْمَخْلُوْقُ Ini adalah pernyataan Jahmiyah yang diikuti oleh Asyaíroh karena ingin menghindar dari kaidah mereka sendiri مَا تَحُلُّهُ الْحَوَادِثُ فَهُوَ حَادِثٌ “Apa yang ditempati oleh hawadits sesuatu yang baru maka ia juga baru”. Menurut ahlus sunnah bahwasanya sifat Allah al-kholq penciptaan adalah sifat yang qodim azali yang tegak di dzat Allah, hanya saja Allah menciptakan kapan saja Allah kehendaki dengan berkata “Kun”. Allah menciptakan Adam álaihis salam bukan di zaman azali tetapi di kemudian hari ketika Allah hendak menciptakannya, demikian pula Allah menciptakan langit dan bumi. Bagi Jahmiyah dan Asyaíroh bahwa kondisi Allah menciptakan di waktu yang tertentu adalah sesuatu yang merupakan kejadian baru pada diri Allah, yang melazimkan berarti Allah melakukan “penciptaan” terus menerus, dan ini berarti terjadi kejadian-kejadian baru pada dzat Allah dan ini tentu tidak boleh dalam kaidah mereka. Sehingga mereka mentakwil “kholq penciptaan” dengan “makhluk” yang terjadi terus menerus[8]. Kelaziman dari pernyataan “penciptaan adalah makhluk itu sendiri” sebenarnya adalah membatalkan tauhid ar-Rububiyah karena menafikan sifat “penciptaan” yang merupakan sifat utama Tuhan sebagai Pencipta. Akan tetapi para ulama tidak mengkafirkan mereka karena ada syubhat yang ada pada diri mereka. Seperti mereka mengatakan bahwa makhluk tercipta bukan dengan “penciptaan” akan tetapi dengan sifat al-irodah yang qodim dengan pemunculan irodah yang berkaitan dengan penciptaan yang otomatis karena sudah diprogramkan dalam irodah qodimah. Kesembilan Keyakinan bahwa semua makhluq tersusun dari al-Jawahir al-Mufrodah Ahlus sunnah meyakini bahwa Allah menciptakan manusia dari unsur yang berbeda dari unsur untuk menciptakan hewan, pohon, batu, dan air. Atau satu makhluk tercipta dari berbagai unsur. Berbeda dengan mayoritas al-Jahmiyah, al-Mu’tazilah, dan al-Asyaíroh. Menurut mereka yang pertama Allah ciptakan adalah al-Jauhar al-Mufrod, dari al-Jauhar al-Mufrod itulah Allah menyusun dan memisahkan sehingga menjadi langit, menjadi bumi, menjadi api, menjadi air, dll. Semuanya berasal dari unsur terkecil yang sama yang disebut dengan al-Jauhar al-Mufrod[9]. Jadi Allah tidak pernah menciptakan benda-benda dan makhluk-mahkluk yang berdiri sendiri, akan tetapi Allah menciptakan sifat-sifat yang tegak pada al-jawahir al-mufrodah tersebut. Jadi anak yang lahir dari rahim, buah yang timbul dari pohon, api yang muncul dari batu bara, semuanya asalnya adalah unsur yang sama yaitu kumpulan al-Jauhar al-Mufrod hanya saja Allah rubah sifat-sifatnya dengan 4 cara الاِجْتِمَاعُ dikumpulkan, الاِفْتِرَاقُ dipisahkan, الحَرَكَةُ gerakan, dan السُّكُوْنُ diam sehingga berubah pula bentuknya. Ini tentu mengurangi nilai tauhid ar-Rububiyah Allah yang menciptakan dengan apa yang Allah kehendaki, dan tidak terbatas pada al-Jauhar al-Mufrod. Ini merupakan aqidah yang batil dari 3 sisi Pertama Mayoritas manusia menolak adanya keyakinan tentang al-Jauhar al-Mufrod. Pendapaat ini juga tidak dikenal dari seorangpun dari kalangan para sahabat, para tabiín, para imam yang ma’ruf. Kedua Menurut mereka yang dimaksud dengan al-Jauhar al-Mufrod yaitu sesuatu yang satu sisinya tidak terbedakan dengan sisi yang lain, tidak terbedakan antara kanan dan kirinya, bahkan mereka mengatakan bahwa ia tidak ada ukurannya. Tentu ini hanyalah hayalan semata, dan tidak ada di alam nyata. Allah telah menjadikan ukuran/takaran bagi segala sesuatu. قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا “Allah menjadikan bagi segala sesuatu ukuran” QS At-Tholaq 3. Jika al-Jauhar al-Mufrod sifatnya seperti yang mereka sebutkan tidak terbedakan antara kanan dan kirinya, tidak ada ukurannya, maka Allah tidak pernah menciptakan makhluk yang seperti itu, karena setiap makhluk pasti ada kadar/ukurannya. Ketiga Pada hakikatnya pendapat ini melazimkan bahwasanya Allah tidak menciptakan sesuatu dari sesuatu. Karena menurut mereka unsurnya tetap ada yaitu kumpulan al-Jauhar al-mufrod hanya saja Allah memberi bentuk pada unsur-unsur tersebut. Keempat Kenyataan yang ada menurut ilmu kimia bahwasanya unsur bukan hanya satu, bahkan banyak unsur yang berbeda-beda. Demikian juga unsur bisa berubah menjadi unsur yang lain dengan proses kimia. Tentu diketahui bahwa unsur yang menyusun kaca tentu tidak sama dengan unsur yang menyusun buah kurma, tidak sama pula dengan unsur yang menyusun air mani. Demikian juga unsur yang menyusun malaikat tidak sama dengan unsur yang menyusun jin dan manusia. Kelima Pada hekikatnya pendapat ini mengingkari “penciptaan” Allah, karena Allah menurut mereka hanyalah menyusun tanpa menciptakan unsur yang baru Keenam Jika hakikat penciptaan hanyalah 4 perkara berkumpul, berpisah, bergerak, dan diam yang terjadi pada al-jauhar al-mufrod, maka seharusnya tidak akan terjadi sesuatu yang baru, karena tidak terjadi proses kimia. Sebagaimana air jika digabungkan atau dipisahkan atau didiamkan atau digerakan maka tidak akan menimbulkan benda lain selain air itu sendiri, hanya saja terjadi perubahan bentuk, akan tetapi bendanya tetaplah air. Ini tentu bertentangan dengan kenyataan, bahwa benda manusia tentu tidak sama dengan benda kaca.[10]. Ketujuh Teori al-Jauhar al-Fard bukanlah teori islami, akan tetapi teori Yunani yang dicetuskan oleh Dimokritos 460 SM – 370 SM yang terkenal dengan teori atom-nya. Justru dengan teori atom tersebut pala filsuf Yunani menyatakan tentang azalinya alam, dan dijadikan batu loncatan untuk mengingkari adanya tuhan. Hal ini karena mereka meyakini bahwa atom-atom penyusun alam azali dan tidak akan pernah punah, dan hanya berpindah dari satu bentuk ke bentuk lainnya karena perubahan interaksi dari satu atom dengan atom lainnya. Akan tetapi teori atom inipun diperselisihkan oleh para filsuf Yunani terdahulu[11]. Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Rukum Iman Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA. _______________________ [1] Dar’ Taáarud al-Áql wa an-Naql 9/344 [2] Jawaahirul Ma’aani wa Buluug Al-Amaani 2/62 [3] HR At-Tirmidzi no 1535 dan dishahihkan oleh Al-Albani [4] Lihat al-Qoul al-Mufiid, al-Útsaimin 2/211 [5] HR Abu Daud no 4980 dan dishahihkan oleh Al-Albani [6] HR. Muslim No. 2664 [7] HR Abu Daud no 4691 dan dihasankan oleh Al-Albani [8] Lihat جُهُوْدُ شَيْخِ الإِسْلاَمِ ابْنِ تَيْمِيَّةَ فِي تَقْرِيْرِ تَوْحِيْدِ الرُّبُوْبِيَّة 1/207-217 [9] Lihat penjelasan Ibnu Taimiyyah di Majmuu al-Fataawa 17/244-245, Minhajus Sunnah 2/139 dan Dar at-Taáarud 3/442-445 dan 8/320 [10] Lihat جُهُوْدُ شَيْخِ الإِسْلاَمِ ابْنِ تَيْمِيَّةَ فِي تَقْرِيْرِ تَوْحِيْدِ الرُّبُوْبِيَّة 1/196-206 [11] Lihat Muqoddimah fi Naqd Madaaris ilmi al-Kalaam, Dr Mahmuud Qoosim, hal 13
Tauhidmulkiyah menuntut umat Islam dengan segala kemampunan dan wewenangnya untuk mengakui Allah sebagai hakim (pembuat hukum dan sumber). Paling tidak ini harus menjadi i'tiqad yang menghujam di dalam hati. Dan secara lisan kita harus mengakui bahwa hanya hukum Allah-lah yang benar dan harus diikuti sebagai seorang muslim.
Belajar Tauhid 2 > Tauhid Rububiyyah Syaikh Dr. Soleh bin Fauzan Al-Fauzan hafidzahullah Tauhid Rububiyah Dan Pengakuan Orang-Orang Musyrik Terhadapnya Termasuk dalam kesempurnaan Tauhid adalah merangkumi mengakui ke-Esaan Allah dalam rububiyah, ikhlas beribadah hanya kepada-Nya menurut ketetapan kaedahnya, serta menetapkan bagi-Nya nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dengan demikian, perbahasan tauhid secara umumnya dapat dibahagiakan kepada tiga bahagian. Iaitulah; Tauhid rububiyah, Tauhid uluhiyah serta Tauhid asma’ wa shifat. Setiap bahagian dari ketiga-tiga bahagian tauhid tersebut memiliki penjelasan dan perbahasan mengikut skopnya. Tauhid Rububiyah Iaitu mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam segala perbuatan-Nya, dengan meyakini bahawa Dia sendiri yang menciptakan segenap makhluk. Firman-Nya اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ “Allah menciptakan setiap sesuatu, dan Dia lah Yang mentadbirkan serta Memelihara segala sesuatu.” Surah az-Zumar, 39 62 Bahawasanya Dia adalah Pemberi Rezeki bagi setiap manusia, binatang dan makhluk lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا “Dan tidak ada satu pun dari makhluk-makhluk yang bergerak di muka bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” Surah Hud, 11 6 Dan bahawasanya Dia adalah Penguasa alam dan Pentadbir alam semesta, Dia yang mengangkat dan menurunkan, Dia yang memuliakan dan menghinakan, Mahakuasa atas segala sesuatu. Pengatur pusingan siang dan malam, Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala befirman قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ. تُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَتُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَتُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَتُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَتَرْزُقُ مَنْ تَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ “Katakanlah “Wahai Tuhan yang memiliki kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezeki kepada siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab batas.”.” Surah Ali Imran, 3 26-27 Allah telah menafikan sekutu atau pembantu dalam kekuasaan-Nya. Sebagaimana Dia menafikan adanya sekutu dalam penciptaan dan pemberi rezeki. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman هَذَا خَلْقُ اللَّهِ فَأَرُونِي مَاذَا خَلَقَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ بَلِ الظَّالِمُونَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ “Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahanmu selain Allah. Sebenarnya orang-orang yang zalim itu berada di dalam kesesatan yang nyata.” Surah Luqman, 31 11 أَمَّنْ هَذَا الَّذِي يَرْزُقُكُمْ إِنْ أَمْسَكَ رِزْقَهُ بَلْ لَجُّوا فِي عُتُوٍّ وَنُفُورٍ “Atau siapakah dia yang memberi kamu rezeki jika Allah menahan rezeki-Nya? Sebenarnya mereka terus menerus dalam kesombongan dan menjauhkan diri?” Surah al-Mulk, 67 21 Allah menyatakan pula tentang ke-Esa-an-Nya dalam rububiyah-Nya atas segala alam semesta. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ “Segala puji bagi Allah yang memelihara sekalian alam.” Surah al-Fatihah, 1 2 إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia beristiwa di atas Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan diciptakan-Nya pula matahari, bulan dan bintang-bintang masing-masing tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” Surah al-A’raaf, 7 54 Allah menciptakan semua makhluk-Nya di atas fitrah pengakuan terhadap rububiyah-Nya. Bahkan orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah dalam ibadah juga mengakui ke-Esaan rububiyah-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ 86 سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ 87 قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ 88 سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ “Katakanlah “Siapakah yang memiliki langit yang tujuh dan yang memiliki Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab “Kepunyaan Allah.” Katakanlah “Maka adakah kamu tidak bertaqwa?” Katakanlah “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari azab-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab “Kepunyaan Allah.” Katakanlah “Kalau begitu, maka dari jalan manakah kamu ditipu?”.” Surah al-Mukminun, 23 86-89 Dengan itu, tauhid rububiyah ini sememangnya diakui oleh sekalian manusia secara fitrah. Tidak ada umat mana pun yang menyangkalnya. Bahkan hati manusia sudah difitrahkan untuk mengakui-Nya, melebihi fitrah pengakuan terhadap yang lainnya. Sebagaimana perkataan para rasul yang dinyatakan oleh Allah Ta’ala قَالَتْ رُسُلُهُمْ أَفِي اللَّهِ شَكٌّ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَدْعُوكُمْ لِيَغْفِرَ لَكُمْ مِنْ ذُنُوبِكُمْ وَيُؤَخِّرَكُمْ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قَالُوا إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُنَا تُرِيدُونَ أَنْ تَصُدُّونَا عَمَّا كَانَ يَعْبُدُ آبَاؤُنَا فَأْتُونَا بِسُلْطَانٍ مُبِينٍ “Berkata rasul-rasul mereka “Adakah ada keraguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi? Dia menyeru kamu untuk memberi keampunan kepadamu dari dosa-dosamu dan menangguhkan siksaan-mu sehingga masa yang ditentukan?” Mereka berkata “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu menghendaki untuk memesongkan menghalang kami dari apa yang selalu disembah nenek-moyang kami, kerana itu datangkanlah kepada kami bukti yang nyata.”.” Surah Ibrahim, 14 10 Adapun orang yang paling terkenal dengan pengingkarannya adalah Fir’aun. Walaupun begitu, di hatinya masih tetap mengakui kewujudan Allah. Sebagaimana perkataan Musa alaihis Salam kepadanya قَالَ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا أَنْزَلَ هَؤُلَاءِ إِلَّا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ بَصَائِرَ وَإِنِّي لَأَظُنُّكَ يَا فِرْعَوْنُ مَثْبُورًا “Musa menjawab “Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahawa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu melainkan Allah yang Memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata; dan sesungguhnya aku mengira bahawa kamu wahai Fir’aun sebagai seorang yang akan binasa.”.” Surah al-Isra’, 17 102 Allah Ta’ala turut mengkhabarkan tentang Fir’aun dan kaumnya وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ “Dan mereka mengingkarinya kerana kezaliman dan kesombongan mereka, sedangkan hati mereka mengakui kebenaran hakikat tersebut.” Surah an-Naml, 27 14 Begitu pula orang-orang yang mengingkarinya di zaman ini, seperti komunis dan atheis. Mereka hanya menampakkan pengingkaran dan penolakkan kerana kesombongannya. Akan tetapi pada hakikatnya, secara diam-diam, batin mereka meyakini bahawa tidak ada satu makhluk pun yang ada tanpa Pencipta, dan tidak ada satu benda pun kecuali ada yang membuatnya, dan tidak ada pengaruh apa pun kecuali pasti ada yang mempengaruhinya. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ. أَمْ خَلَقُوا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بَلْ لَا يُوقِنُونَ “Adakah mereka diciptakan tanpa sesuatu apa pun ataukah mereka yang menciptakan diri mereka sendiri? Atau mereka yang mencipta langit dan bumi itu? Sebaliknya mereka tidaklah yakin. ” Surah ath-Thur, 52 35-36 Perhatikanlah alam semesta ini, sama ada yang di atas mahupun yang di bawah dengan segala bahagian-bahagiannya, kita pasti mampu mendapati semua itu menunjukkan kepada wujudnya Pembuat, Pencipta dan Pemiliknya. Maka, mengingkari dalam akal dan hati terhadap pencipta semua itu, sama keadaannya dengan mengingkari ilmu itu sendiri dan mencampakkannya, yang mana kedua-dua situasi tersebut tiada bezanya. Adapun pengingkaran tentang adanya Tuhan oleh orang-orang komunis ketika ini hanyalah kerana kesombongan dan penolakan mereka terhadap hasil kajian dan penemuan akal yang sihat. Sesiapa yang memiliki sifat seperti ini maka dia telah membuang akalnya dan mengajak orang lain untuk mentertawakan dirinya. Pengertian Rabb Dalam al-Qur’an Dan as-Sunnah, Serta Pandangan Umat-umat Yang Sesat Rabb adalah bentuk mashdar, berasal dari “رب يرب” yang bererti mengembangkan sesuatu dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain, sehingga kepada keadaan yang sempurna. Dan boleh juga diungkapkan dengan ربه ورباه ورببه. Dengan itu, Rabb adalah kata mashdar yang dipinjam untuk fa’il pelaku. Kata-kata ar-Rabb tidak disebut sendirian, kecuali untuk Allah yang menjamin kemaslahatan seluruh makhluk. Adapun jika diidhafah-kan ditambahkan kepada yang lain, maka ianya boleh dimaksudkan kepada Allah dan boleh juga yang lain. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ “Segala puji bagi Allah yang memelihara sekalian alam.” Surah al-Fatihah, 1 2 Juga firman-Nya قَالَ رَبُّكُمْ وَرَبُّ آبَائِكُمُ الْأَوَّلِينَ “Musa berkata pula “Tuhan kamu dan Tuhan nenek-moyang kamu yang dahulu.”.” Surah as-Syu’ara, 26 26 Kata rabb juga turut digunakan seperti “رب الدار” iaitu tuan rumah atau pemilik rumah, “رب الفرس” iaitu pemilik kuda, dan di antaranya lagi adalah perkataan Nabi Yusuf alahis Salam yang dinyatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala وَقَالَ لِلَّذِي ظَنَّ أَنَّهُ نَاجٍ مِنْهُمَا اذْكُرْنِي عِنْدَ رَبِّكَ فَأَنْسَاهُ الشَّيْطَانُ ذِكْرَ رَبِّهِ فَلَبِثَ فِي السِّجْنِ بِضْعَ سِنِينَ “Dan Yusuf berkata kepada orang yang diketahuinya akan selamat di antara mereka berdua “Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu rabbika.” Maka Syaitan menjadikan dia lupa menerangkan keadaan Yusuf kepada tuannya rabbihi. Kerana itu tetaplah dia Yusuf dalam penjara beberapa tahun lamanya.” Surah Yusuf, 12 42 Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ “…kembalilah kepada tuanmu rabbika…” Surah Yusuf, 12 50 أَمَّا أَحَدُكُمَا فَيَسْقِي رَبَّهُ خَمْرًا “Adapun salah seorang dari kamu, maka ia akan memberi minum arak kepada tuannya rabbahu…” Surah Yusuf, 12 41 Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah tentang unta yang hilang حَتَّى يَجِدَهَا رَبُّهَا “…Sehingga pemiliknya menemuinya…” Shahih al-Bukhari, 2428 Maka jelaslah bahawa kata Rabb diperuntukkan untuk Allah jika ma’rifat dan mudhaf, sehingga kita mengatakan misalnya الرب Tuhan – Allah, رب العالمين Penguasa semesta alam atau رب الناس Tuhan manusia. Dan tidak diperuntukkan kepada selain Allah kecuali jika di-idhafah-kan, misalnya رب الدار tuan rumah, atau “رب الاءبل” pemilik unta dan lainnya. Makna “رب العالمين” adalah Allah Pencipta alam semesta, Pemilik, Pengurus dan Pembimbing mereka dengan segala nikmat-Nya, serta dengan mengutus para Rasul-Nya, menurunkan kitab-kitab-Nya dan Pemberi balasan atas segala perbuatan makhluk-Nya. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah Wafat 751H berkata bahawa kandungan dan kesan rububiyah adalah adanya perintah dan larangan kepada hamba, membalas yang berbuat baik dengan kebaikan, serta menghukum yang jahat atas kejahatannya. Madarijus Salikin, 1/68 Pengertian Rabb Menurut Pandangan Umat-Umat Yang Sesat Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia dengan fitrah mengakui tauhid serta mengetahui Rabb Sang Pencipta. Firman Allah فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Surah ar-Ruum, 30 30 وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ “Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka lalu berfirman “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab “Betul Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi.” Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan “Sesungguhnya kami bani Adam adalah orang-orang yang alpa terhadap ini ke-Esaan Tuhan”. Surah al-A’raaf, 7 172 Jadi, mengakui rububiyah Allah dan menerimanya adalah sesuatu yang fitri. Sedangkan syirik adalah unsur yang datang kemudian. Baginda Rasul bersabda كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ “Setiap bayi dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tua-nyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” Shahih al-Bukhari, no. 1385 Seandainya seorang manusia diasingkan dan dibiarkan fitrahnya, pasti ia akan meng-arah kepada tauhid yang dibawa oleh para rasul, yang disebutkan oleh kitab-kitab suci dan ditujukan oleh alam. Akan tetapi kesan pengaruh bimbingan yang menyimpang dan persekitaran yang berunsurkan tidak mempedulikan wujudnya Tuhan itulah faktor penyebab yang mengubah pandangan si bayi. Dari sanalah seorang anak manusia mengikuti bapa-nya dalam kesesatan dan penyimpangan. Allah berfirman dalam hadis Qudsi وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ، وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ “Aku ciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif putih bersih semuanya, sesungguhnya Syaitan-lah yang memalingkan mereka, maka mereka pun menyimpang dari agama mereka.” Shahih Muslim, no. 2865 Maksudnya, memalingkan mereka kepada berhala-berhala dan menjadikan mereka itu sebagai tuhan selain Allah. Maka mereka jatuh dalam kesesatan, keterasingan, perpecahan, dan perbezaan; kerana setiap kelompok memiliki tuhan-nya masing-masing. Ini adalah kerana ketika mereka berpaling dari Tuhan yang sebenar, maka mereka akan jatuh ke dalam fikrah mempercayai tuhan-tuhan palsu. Sebagaimana firman Allah فَذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمُ الْحَقُّ فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ “Maka demikian, Allah itulah Rabb kamu yang sebenarnya; maka tidak ada setelah kebenaran itu melainkan kesesatan. Maka bagaimana kamu boleh dipalingkan dari kebenaran?” Surah Yunus, 10 32 Kesesatan itu tidak memiliki batas dan tepi. Dan itu pasti terjadi pada diri orang-orang yang berpaling dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Firman-Nya يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ 39 مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ “Wahai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya menyembah nama-nama yang kamu dan nenek moyang kamu ada-adakannya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama tersebut. Sesungguhnya hukum itu hanyalah milik Allah, Yang telah memerintahkan supaya kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Surah Yusuf, 12 39-40 Dan syirik dalam tauhid rububiyah adalah dengan menetapkan adanya dua pencipta yang serupa dalam sifat dan perbuatannya; Ini adalah sesuatu yang mustahil. Akan tetapi sebahagian kaum musyrikin meyakini bahawa tuhan-tuhan mereka memiliki sebahagian kekuasaan dalam alam semesta ini. Syaitan telah mempermainkan mereka dalam menyembah tuhan-tuhan tersebut, dan syaitan mempermainkan setiap kelompok manusia berdasarkan kemampuan akal mereka. Ada sekelompok orang yang diajak untuk menyembah orang-orang yang sudah mati dengan cara membuat patung-patung mereka sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nabi Nuh alaihis Salam. Ada pula sekelompok lain yang menghasilkan berhala-berhala dalam bentuk planet-planet. Mereka menganggap planet-planet tersebut memiliki kuasa terhadap alam semesta dan isinya. Maka mereka membinakan rumah-rumah untuknya serta memasang anak kuncinya. Mereka pun berselisih pendapat berkenaan penyembahannya; ada yang menyembah matahari, ada yang menyembah bulan dan ada pula yang menyembah planet-planet lain, sehingga di kalangan mereka membina piramid-piramid, dan setiap planet ada piramidnya sendiri. Ada pula golongan yang menyembah api, iaitu kaum Majusi. Juga ada kaum yang menyembah sapi lembu, seperti yang ada di India; kelompok yang menyembah malaikat, kelompok yang menyembah pohon-pohon dan batu besar. Juga ada yang menyembah makam atau kuburan yang dianggap keramat. Semua ini adalah disebabkan kerana mereka menyangkakan dan menggambarkan benda-benda tersebut mempunyai sebahagian dari sifat rububiyah atau ketuhanan. Ada pula yang menganggap berhala-berhala itu mewakili hal-hal yang ghaib. Imam Ibnul Qayyim berpendapat “Pembuat berhala pada mulanya adalah golongan yang suka berimaginasi dan gemar membayangkan persoalan tuhan yang ghaib, lalu mereka membina patung-patung tertentu berdasarkan bentuk dan rupa yang terlintas di fikiran mereka agar dapat menjadi wakilnya serta mengganti kedudukannya. Jika tidak begitu, maka sesungguhnya setiap orang yang berakal tidak mungkin akan memahat patung dengan tangannya sendiri kemudian meyakini dan menyatakan bahawa patung yang dipahat itu adalah tuhan sembahannya.” Ighatsatul Lahfan, 2/220 Begitu pula yang berlaku kepada golongan sesat yang menyembah kuburan, sama ada di era dahulu kala mahupun di zaman ini, mereka menyangka bahawa orang-orang mati itu dapat membantu mereka, dengan beranggapan bahawa mereka mampu menjadi per-antara penghubung di antara mereka dengan Allah dalam membantu memenuhi mencapai hajat-hajat mereka. Mereka mengatakan مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya.” Surah az-Zumar, 39 3 وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ “Dan mereka menyembah selain dari Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula manfaat, dan mereka berkata “Mereka itu adalah pemberi syafa’at pertolongan kepada kami di sisi Allah.” Katakanlah “Adakah kamu mengkhabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya di langit dan tidak pula di bumi?” Maha Suci Allah yang Maha Tinggi dari apa yang mereka sekutukan itu.” Surah Yunus, 10 18 Begitulah hakikatnya sebagaimana yang dilakukan oleh sebahagian kaum musyrikin arab dan Nasrani di mana mereka menganggap tuhan-tuhan mereka adalah anak-anak Allah. Kaum musyrikin arab menganggap malaikat adalah anak-anak perempuan Allah. Orang Nasrani menyembah Isa alaihis salam atas dasar anggapan ia adalah anak lelaki Allah. Sanggahan Terhadap Pandangan Yang Batil Terhadap Rububiyah Allah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyanggah pandangan-pandangan tersebut a – Sanggahan Terhadap Penyembah Berhala أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّى 19 وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَى “Maka adakah patut kamu wahai orang-orang musyrik menganggap al-Lata dan al-Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian sebagai anak perempuan Allah?” Surah an-Najm, 53 19-20 Tafsir ayat tersebut menurut imam al-Qurthubi, “Sudahkah engkau perhatikan baik-baik tuhan-tuhan ini. Apakah mereka boleh mendatangkan manfaat atau mudharat, sehingga mereka itu dijadikan sebagai sekutu-sekutu Allah?” Allah Ta’ala berfirman وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ إِبْرَاهِيمَ 69 إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا تَعْبُدُونَ 70 قَالُوا نَعْبُدُ أَصْنَامًا فَنَظَلُّ لَهَا عَاكِفِينَ 71 قَالَ هَلْ يَسْمَعُونَكُمْ إِذْ تَدْعُونَ 72 أَوْ يَنْفَعُونَكُمْ أَوْ يَضُرُّونَ 73 قَالُوا بَلْ وَجَدْنَا آبَاءَنَا كَذَلِكَ يَفْعَلُونَ “Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim. Ketika ia berkata kepada bapa-nya dan kaumnya “Apakah yang kamu sembah?” Mereka menjawab “Kami menyembah berhala-berhala dan kami sentiasa tekun menyembahnya.” Berkata Ibrahim “Adakah berhala-berhala itu mendengar doa-mu sewaktu kamu berdoa kepadanya? Atau dapatkah mereka memberi manfaat kepadamu atau memberi mudharat?” Mereka menjawab “Bukan kerana itu, tetapi sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian.”.” Surah asy-Syu’araa’, 26 69-74 Mereka mengakui bahawa berhala-berhala itu tidak mampu untuk mendengar permohonan, tidak boleh mendatangkan manfaat mahupun mudharat. Akan tetapi mereka menyembahnya kerana ikut-ikutan taklid buta kepada nenek moyang mereka. Sedangkan taklid adalah hujjah yang batil dan bukanlah suatu pendirian yang betul. b – Sanggahan Terhadap Penyembah Matahari, Bulan, Dan Bintang Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia beristiwa di atas Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan diciptakan-Nya pula matahari, bulan dan bintang-bintang, masing-masing tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” Surah al-A’raaf, 7 54 وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah kamu sujud kepada matahari dan bulan, tetapi sujudlah kepada Allah yang telah menciptakannya, sesungguhnya hanya kepadanyalah kamu mengabdikan diri.” Surah Fushilat, 41 37 c – Sanggahan Terhadap Penyembah Malaikat Dan Nabi Isa Yang Dianggap Sebagai Anak Allah Allah Ta’ala berfirman مَا اتَّخَذَ اللَّهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ إِذًا لَذَهَبَ كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ “Allah sekali-kali tidak memiliki anak, dan sekali-kali tiada tuhan yang lain bersama-Nya. Kalau ada tuhan bersama-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebahagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebahagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.” Surah al-Mu’minuun, 23 91 بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ “Dia-lah Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia memiliki anak sedangkan Dia tidak memiliki isteri. Dia menciptakan segala sesuatu, dan Dia mengetahui segala sesuatu.” Surah al-An’am, 6 101 قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ 1 اللَّهُ الصَّمَدُ 2 لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ 3 وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ “Katakanlah Wahai Muhammad “Tuhanku ialah Allah yang Maha Esa, Allah yang menjadi tempat bergantung bagi sekalian makhluk, Dia tidak beranak, dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada siapapun yang serupa dengan-Nya.”.” Surah al-Ikhlas, 112 1-4 Fitrah Alam Semesta Yang Tunduk dan Patuh Kepada Allah Sesungguhnya alam semesta ini keseluruhannya tunduk kepada Allah dan patuh kepada kauniyah-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ “Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, sama ada dengan suka ataupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan.” Surah Ali Imran, 3 83 وَقَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ بَلْ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ كُلٌّ لَهُ قَانِتُونَ “Mereka orang-orang kafir berkata “Allah memiliki anak.” Maha Suci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya.” Surah al-Baqarah, 2 116 وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ دَابَّةٍ وَالْمَلَائِكَةُ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ “Dan kepada Allah bersujud segala apa yang di langit dan semua makhluk yang melata di bumi dan juga para malaikat, sedang mereka malaikat tidak menyombongkan diri.” Surah an-Nahl, 16 49 أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ “Adakah kamu tiada mengetahui, bahawa kepada Allah-lah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung-ganang, tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang yang melata dan sebahagian besar dari manusia? Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan sesiapa yang dihinakan Allah maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan apa yang Dia kehendaki.” Surah al-Hajj, 22 18 وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَظِلَالُهُمْ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ “Hanya kepada Allah-lah sujud patuh segala apa yang di langit dan di bumi, sama ada dengan kemahuan sendiri ataupun terpaksa dan sujud pula bayang-bayang mereka di waktu pagi dan petang hari.” Surah ar-Ra’d, 13 15 Dengan ini telah jelaslah kepada kita bahawa seluruh alam semesta ini tunduk kepada Allah, patuh kepada kekuasaan-Nya, berjalan menurut kehendak dan perintah-Nya. Tiada satu pun makhluk yang mengingkari-Nya. Semua menjalankan tugas dan peranannya masing-masing serta menurut disiplin atau sistem yang sangat sempurna. Penciptanya Allah sama sekali tidak memiliki sifat kurang, lemah, dan cacat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لَا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا “Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tiada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” Surah al-Isra, 17 44 Juga telah jelas kepada kita bahawa, seluruh makhluk, sama ada yang berbicara mahupun yang tidak, yang hidup mahupun yang mati, semuanya tunduk kepada perintah kauniyah Allah. Kesemuanya menyucikan Allah dari segala kekurangan dan kelemahan, sama ada secara perbuatan mahupun ucapan. Golongan yang berakal pasti mampu memikirkan dan memerhatikan persoalan ini, dan mereka menjadi bertambah yakin bahawa semua itu diciptakan dengan haq dan untuk yang haq. Bahawasanya ia diatur dan tidak ada pengaturan yang keluar dari aturan Penciptanya. Kesemuanya meyakini kewujudan, kekuasaan dan pengaruh Sang Pencipta dengan naluri dan fitrahnya. Imam Ibnu Taimiyah berkata, “Mereka tunduk dengan menyerah, pasrah dan terpaksa dari pelbagai segi, di antaranya 1 – Meyakini bahawa mereka sangat memerlukan-Nya. 2 – Mereka Tunduk kepada qadha’, qadar, dan kehendak Allah yang ditulis atas mereka. 3 – Mereka memohon dan melahirkan rasa berharap kepada-Nya ketika dalam keadaan darurat atau tersepit. Seorang mukmin tunduk kepada perintah Allah dengan redha dan ikhlas. Begitulah juga ketika mendapat ujian, mereka sabar menerima-nya. Atas sebab itulah mereka tunduk dan patuh dengan penuh redha dan ikhlas.” Majmu’ al-Fatawa, 1/45 Sedangkan orang kafir, maka ia tunduk kepada perintah Allah yang bersifat kauni sunnatullah. Adapun maksud dari sujudnya alam dan benda-benda seperti tumbuhan, angin, udara, dan gunung-ganang adalah ketundukan mereka kepada Allah. Dan setiap sesuatu itu bersujud menurut kesuaiannya, iaitu suatu sujud yang bersesuaian dengan keadaannya serta mengandungi makna tunduk kepada al-Rabb. Dan bertasbihnya masing-masing benda adalah hakikat, bukan majaz perumpamaan, dan ianya bersesuaian dengan keadaannya masing-masing. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ “Maka adakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, sedangkan sepatutnya hanya kepada-Nya-lah tempat menyerah diri segala apa yang di langit dan di bumi, sama ada dengan suka mahupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan.” Surah Ali Imran, 3 83 Dengan mengatakan, “Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan ketundukan setiap perkara itu secara sukarela dan terpaksa, kerana seluruh makhluk wajib beribadah kepada-Nya dengan penghambaan yang umum, tidak kira adakah ia mengakui-Nya atau mengingkari-Nya. Mereka semua tunduk dan diatur. Mereka patuh dan pasrah kepada-Nya secara rela mahupun terpaksa.” Majmu’ al-Fatawa, 9/200 Tiada satu pun dari makhluk ini yang keluar dari kehendak, takdir, dan qadha’-Nya. Tidak ada daya dan upaya melainkan dengan izin Allah. Dia adalah Pencipta dan Penguasa alam. Semua adalah milik-Nya. Dia bebas melakukan apa sahaja terhadap ciptaan-Nya bersesuaian dengan kehendak-Nya. Semua dikendalikan-Nya. Dialah Yang Maha Suci, Maha Esa, Maha Perkasa, Maha Pencipta, Pembuat dan Pembentuk. MANHAJ AL-QUR’AN DALAM MENETAPKAN WUJUD DAN KE-ESAAN AL-KHALIQ Manhaj al-Qur’an dalam menetapkan wujud al-Khaliq serta ke-Esaan-Nya adalah satu-satunya manhaj yang sejalan dengan fitrah yang lurus dan akal yang sihat. Iaitu dengan mengemukakan bukti-bukti yang benar, yang menjadikan akal mahu menerima dan musuh pun menyerah. Di antara dalil-dalil tersebut adalah 1 – Telah menjadi kepastian, setiap yang baru tentu ada yang mengadakan. Ini adalah sesuatu yang dimaklumi setiap insan melalui fitrah, malahan sehingga kanak-kanak pun mampu merasai dan memiliki fitrah tersebut. Jika seseorang anak dipukul oleh seseorang ketika sedang lalai dan tidak melihatnya, ia pasti akan berkata atau mencari, “Siapakah yang telah memukulku?” Kalau dikatakan kepadanya, “Tidak ada sesiapa yang memukulmu”, maka akalnya pasti tidak akan dapat dan mahu menerima-nya, iaitu hatinya berasa tidak puas hati. Bagaimana mungkin ada pukulan tanpa ada yang melakukannya. Jika dikatakan kepadanya, “si Fulan yang memukulmu”, maka kemungkinan dia akan menangis atau mungkin akan membalas pukulan yang dilakukan ke atasnya tadi. Kerana itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ “Mengapa mereka tidak beriman? Adakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun yang menciptakan ataukah mereka yang menciptakan diri mereka sendiri?” Surah at-Thur, 52 35 Ini adalah penyangkalan dan bantahan, yang disebutkan oleh Allah dengan shighat istifham inkari bentuk pertanyaan yang menyangkal, bagi tujuan menjelaskan bahawa hal tersebut adalah merupakan kebenaran yang nyata, yang tidak mungkin lagi diingkari. Mereka berfikir tanpa pencipta yang menciptakan mereka, ataukah mereka menciptakan diri mereka sendiri? Tentu tidak. Kedua hal itu sama-sama batil. Maka tidak ada kemungkinan lain kecuali mereka mempunyai pencipta yang menciptakan mereka iaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan tidak ada lagi pencipta yag selain-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman هَذَا خَلْقُ اللَّهِ فَأَرُونِي مَاذَا خَلَقَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ بَلِ الظَّالِمُونَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ “Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahanmu selain Allah. Sebenarnya orang-orang yang zalim itu berada dalam kesesatan yang nyata.” Surah Luqman, 31 11 قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَرُونِي مَاذَا خَلَقُوا مِنَ الْأَرْضِ أَمْ لَهُمْ شِرْكٌ فِي السَّمَاوَاتِ ائْتُونِي بِكِتَابٍ مِنْ قَبْلِ هَذَا أَوْ أَثَارَةٍ مِنْ عِلْمٍ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ “Katakanlah “Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu sembah selain Allah.” Perlihatkan kepada-Ku apakah yang telah mereka ciptakan dari bumi ini atau adakah mereka bekerjasama dengan Allah dalam penciptaan langit? Bawalah kepada-Ku Kitab yang sebelum al-Qur’an ini atau peninggalan dari pengetahuan orang-orang dahulu, jika kamu adalah orang-orang yang benar.” Surah al-ahqaaf, 46 4 قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ قُلْ أَفَاتَّخَذْتُمْ مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ لَا يَمْلِكُونَ لِأَنْفُسِهِمْ نَفْعًا وَلَا ضَرًّا قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَمْ هَلْ تَسْتَوِي الظُّلُمَاتُ وَالنُّورُ أَمْ جَعَلُوا لِلَّهِ شُرَكَاءَ خَلَقُوا كَخَلْقِهِ فَتَشَابَهَ الْخَلْقُ عَلَيْهِمْ قُلِ اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ “Katakanlah “Siapakah Tuhan langit dan bumi?” Jawabnya “Allah.” Katakanlah “Maka patutkah kamu mengambil pelindung-pelindungmu dari selain Allah, padahal mereka tidak menguasai kemanfaatan dan tidak pula kemudharatan bagi diri mereka sendiri?” Katakanlah “Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah gelap-gelita dan terang benderang; adakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?” Katakanlah “Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa”.” Surah ar-Ra’d, 13 16 يَا أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَنْ يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِنْ يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لَا يَسْتَنْقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ “Wahai manusia, telah dijadikan suatu perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala apa yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah pulalah yang disembah.” Surah al-Hajj, 22 73 وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَا يَخْلُقُونَ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ “Dan berhala-berhala yang mereka seru ibadahi selain Allah, tidak dapat membuat sesuatu apapun, sedang berhala-berhala itu sendiri dibuat orang.” Surah an-Nahl, 16 20 أَفَمَنْ يَخْلُقُ كَمَنْ لَا يَخْلُقُ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ “Maka apakah Allah yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan apa-apa? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran.” Surah an-Nahl, 16 17 Dengan jelas dan ayat-ayat cabaran pun turut diajukan melalui dalil yang berulang-ulang, namun tidak seorang pun yang mampu mengaku bahawa dia telah menciptakan sesuatu. Pengakuan atau dakwaan sahaja pun tidak ada, apalagi menetapkan dengan bukti. Dengan itu, ternyata bahawa amat benarlah hanya Allah Pencipta sekalian alam, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. 2 – Teraturnya semua urusan alam, juga kerapiannya adalah bukti paling kuat yang menunjukkan bahawa pengatur alam ini hanyalah Tuhan yang satu, yang tidak bersekutu atau pun berseteru. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman مَا اتَّخَذَ اللَّهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ إِذًا لَذَهَبَ كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ “Allah sekali-kali tidak memiliki anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan yang lain beserta-Nya, jika ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebahagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebahagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.” Surah al-Mukminuun, 23 91 Tuhan yang hak, yang sebenar-benarnya wajib menjadi pencipta sejati. Jika ada tuhan yang lain di dalam kerajaannya, sudah pasti tuhan itu juga berupaya menciptakan sesuatu. Ketika itu, pasti ia tidak akan rela adanya tuhan lain bersamanya. Bahkan, seandainya ia mampu mengalahkan temannya dan menguasai sendiri kerajaan serta ketuhanan, tentu telah ia lakukan. Apabila ia tidak mampu mengalahkannya, pasti ia akan hanya mengurus kerajaan miliknya. Sebagaimana raja-raja di dunia mengurus kerajaannya sendiri-sendiri. Maka terjadilah perpecahan, sehingga perlunya terjadi salah satu daripada tiga perkara berikut A, Salah satunya mampu mengalahkan yang lain dan menguasai alam sendirian. B, Masing-masing berdiri sendiri dalam kerajaan dan penciptaan, sehingga terjadi pembahagian kekuasaan. C, Kedua-duanya berada dalam kekuasaan seorang raja yang bebas dan berhak berbuat apa saja terhadap keduanya. Dengan demikian maka dialah yang menjadi tuhan yang hak, sedangkan yang lain adalah hambanya. Dan secara realitinya, dalam alam ini tidak terjadi pembahagian kekuasaan dan ketidak selarasan. Hal ini menunjukkan pengaturnya adalah Satu dan tidak seorang pun menentang-Nya. Dan bahawa Rajanya adalah Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. 3 – Tunduknya makhluk-makhluk untuk melaksanakan tugasnya sendiri-sendiri serta mematuhi peranan dan fungsi yang diberikan-Nya. Tidak ada satu pun makhluk yang membangkang dari melaksanakan tugas dan fungsinya di alam semesta ini. Inilah yang dijadikan hujjah oleh Nabi Musa alaihis salam. ketika ditanya Fir’aun قَالَ فَمَنْ رَبُّكُمَا يَا مُوسَى 49 قَالَ رَبُّنَا الَّذِي أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى “Berkata Fir’aun “Maka siapakah Tuhan kamumu berdua, wahai Musa?” Musa berkata “Tuhan kami adalah Tuhan yang telah memberikan kepada setiap sesuatu bentuk kejadiannya yang sesuai dengan bentuk kejadiannya, kemudian Dialah yang memberinya petunjuk.”.” Surah Thoha, 20 49-50 Jawaban Musa sungguh tepat dan kukuh “Tuhan Kami ialah Tuhan yang telah memberikan kepada setiap sesuatu bentuk kejadiannya yang sesuai dengannya, kemudian Dia memberi petunjuk.” Maksudnya, Tuhan kami yang telah menciptakan semua makhluk dan memberi masing-masing makhluk suatu ciptaan yang tepat untuknya; mulai dari ukuran, besar atau kecilnya atau sederhana serta seluruh sifatnya yang ada padanya. Kemudian menunjukkan kepada setiap makhluk tersebut akan tugas dan fungsinya. Petunjuk ini adalah hidayah yang sempurna, yang dapat disaksikan oleh setiap makhluk. Jika kita perhatikan setiap makhluk, pasti kita akan dapati mereka melaksanakan apa yang menjadi tugasnya. Dengan hakikat dan ciri-ciri tersebut, maka pelbagai manfaat dapat dihasilkan dan berupaya mencegah perkara-perkara yang berbahaya. Sehingga haiwan ternak pun diberikan oleh-Nya sebahagian dari akal yang menjadikannya berupaya melakukan perkara yang bermanfaat baginya dan mengusir bahaya yang mengancamnya, dan juga mampu melakukan tugas-tugas tertentu dalam kehidupan. Ini adalah sebagaimana yang tersebut dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنْسَانِ مِنْ طِينٍ “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulakan penciptaan manusia dari tanah.” Surah as-Sajdah, 32 7 Jadi, dengan itu ia menunjukkan bahawa yang telah menciptakan semua makhluk dan memberinya sifat penciptaan yang baik, yang mana manusia tidak mampu mengadakannya, juga menunjukkan kepada kemaslahatannya masing-masing adalah Tuhan yang sebenarnya. Mengingkari-Nya adalah mengingkari kewujudan yang paling agung. Dan hal itu merupakan kedangkalan atau kebohongan yang sangat jelas. Allah memberi semua makhluk dengan segala keperluannya di dunia, kemudian menunjukkan tatacara perjalanan hidupnya. Dan tidak syak lagi jika Dia telah memberi dari setiap jenis makhluknya dengan bentuk dan rupa yang sesuai dengannya. Dia telah memberi setiap lelaki dan perempuan dengan bentuk yang sesuai dengan jenisnya, sama ada dalam pernikahan, perasaan, mahupun unsur sosial. Juga telah memberi setiap anggota tubuh bentuk yang sesuai untuk suatu manfaat yang telah ditentukan-Nya. Semua ini adalah bukti-bukti yang jelas bahawasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Tuhan bagi segala sesuatu, dan Dia berhak disembah, dan bukannya yang lain. “Pada setiap benda terdapat bukti bagi-Nya, yang menunjukkan Bahawa Dia adalah Esa.” Kemudian, tidak diragukan lagi, maksud penetapan rububiyyah Allah atas makhluk-Nya dan ke-Esaannya dalam rububiyah adalah untuk menunjukkan wajibnya menyembah Allah semata-mata, tanpa sekutu bagi-Nya, iaitu Tauhid Uluhiyyah. Seandainya seseorang mengakui Tauhid rububiyah tetapi tidak mengimani tauhid uluhiyah, atau tidak mahu melaksanakannya, maka ia tidak menjadi muslim dan bukan ahli tauhid, bahkan ia adalah kafir jahid yang menentang. Dan persoalan inilah yang akan dibahaskan dalam topik yang berikutnya, InsyaALLAH. TAUHID RUBUBIYAH MENGHARUSKAN ADANYA TAUHID ULUHIYAH Dari sini menunjukkan bahawa sesiapa yang mengakui tauhid rububiyah untuk Allah, dengan mengimani bahawa tidak ada pencipta, pemberi rezeki dan pengatur alam kecuali Allah, maka dia juga mesti mengakui bahawa tidak ada yang berhak menerima ibadah pengabdian dengan tatacaranya dan kaedahnya melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala sahaja. Dan itu adalah merupakan asas kepada konsep tauhid uluhiyah. Tauhid uluhiyah, iaitu tauhid ibadah, kerana ilah maknanya adalah ma’bud yang disembah. Maka tidak ada yang diseru dalam doa kecuali Allah, tidak ada tempat meminta pertolongan kecuali kepada Dia, tidak ada yang boleh dijadikan tempat bergantung kecuali Dia, tidak boleh menyembelih korban atau bernadzar kecuali untuk-Nya atau kerana-Nya, dan tidak boleh mengarahkan seluruh ibadah kecuali untuk-Nya dan kerana-Nya semata-mata. Dengan itu, tauhid rububiyah adalah bukti wajibnya tauhid uluhiyah. Atas sebab itu juga kita dapat melihat Allah banyak melakukan bantahan terhadap orang yang mengingkari tauhid uluhiyah dengan tauhid rububiyah yang mereka akui dan yakini. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ 21 الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; oleh itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” Surah al-Baqarah, 2 21-22 Allah memerintahkan mereka supaya melaksanakan tauhid uluhiyah, iaitu menyembah-Nya dan beribadah kepada-Nya. Dia menunjukkan dalil kepada mereka dengan tauhid rububiyah, iaitu penciptaan-Nya terhadap manusia dari yang pertama hingga yang terakhir, penciptaan langit dan bumi serta seisinya, penurunan hujan, penumbuhan tumbuh-tumbuhan, pengeluaran buah-buahan yang menjadi rezeki bagi para hamba. Maka sangat tidak wajar bagi mereka jika menyekutukan Allah dengan yang lain-Nya; dari benda-benda atau pun orang-orang yang mereka sendiri mengetahui bahawa ia tidak berupaya melakukan sebarang sesuatu pun dari hal-hal tersebut di atas dan lainnya. Maka jalan fitrah untuk menetapakan uluhiyah adalah berdasarkan tauhid rububiyah. Kerana manusia pertama kalinya sangat bergantung kepada asal kejadiannya, sumber kemanfaatan dan kemudharatannya. Setelah itu berpindah kepada cara-cara bertaqarrub kepada-Nya, cara-cara yang boleh kita mendapatkan redha-Nya dan menguatkan hubungan antara dirinya dengan Tuhannya. Maka tauhid rububiyah adalah laluan masuk kepada tauhid uluhiyah. Kerana itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berhujah atas orang-orang yang musyrik dengan cara ini. Dia juga memerintahkan Rasul-Nya untuk berhujah atas mereka seperti itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman قُلْ لِمَنِ الْأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ 84 سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ 85 قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ 86 سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ 87 قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ 88 سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ “Katakanlah “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab “Kepunyaan Allah.” Katakanlah “Maka apakah kamu tidak ingat?” Katakanlah “Siapakah yang memiliki langit yang tujuh dan yang memiliki Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab “Kepunyaan Allah.” Katakanlah “Maka adakah kamu tidak bertaqwa?” Katakanlah “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari azab-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab “Kepunyaan Allah.” Katakanlah “Kalau begitu, maka dari jalan manakah kamu ditipu?”.” Surah al-Mukminuun, 23 84-89 ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ “Yang memiliki sifat-sifat yang demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu.” Surah al-An’am, 6 102 Dia berdalil dengan tauhid rububiyah-Nya atas hak-Nya untuk disembah. Tauhid uluhiyah inilah yang menjadi tujuan dalam penciptaan manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdikan diri kepada-Ku.” Surah adz-Dzariyat, 51 56 Erti “يعبدون” adalah mentauhidkan-Ku dalam ibadah. Seseorang hamba tidaklah menjadi muwahhid ahli tauhid hanya dengan mengakui tauhid rububiyah semata-mata, tetapi ia harus mengakui tauhid uluhiyah serta mengamalkannya. Jika tidak demikian, maka orang musyrik pun sebenarnya turut mengakui tauhid rububiyah, tetapi keadaan tersebut tidaklah menjadikan mereka termasuk ke dalam Islam, malahan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memerangi mereka. Padahal mereka mengakui bahawa Allah-lah Tuhan Pencipta, Pemberi Rezeki, Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka “Siapakah yang menciptakan mereka, nescaya mereka menjawab “Allah.” Maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan dari menyembah Allah?” Surah az-Zukhruf, 43 87 قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ “Katakanlah “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang berkuasa menciptakan pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab “Allah.” Maka katakanlah “Mangapa kamu tidak bertaqwa kepada-Nya?” Surah Yunus, 10 31 Situasi dan penghujjahan seperti itu amat banyak dikemukakan di dalam al-Qur’an. Maka barangsiapa menganggap bahawa tauhid itu hanya meyakini wujud Allah, atau meyakini bahawa Allah adalah al-Khaliq yang mengatur alam, maka sesungguhnya orang tersebut belumlah mengetahui hakikat tauhid yang dibawa oleh para Rasul. Kerana sesungguhnya ia hanya mengakui sesuatu yang diharuskan, dan meninggalkan sesuatu yang mengharuskan; atau berhenti hanya setakat pada dalil tetapi ia meninggalkan isi dan tujuan dalil tersebut. Di antara kekhususan ilahiyah adalah kesempurnaan-Nya yang mutlak dalam segala segi, tidak ada cela atau kekurangan sedikit pun. Ia mengharuskan semua ibadah perlu dikhususkan kepada-Nya; pengagungan, penghormatan, kecintaan, rasa takut, doa, pengharapan, taubat, tawakkal, minta pertolongan, penghambaan dengan rasa cinta yang paling dalam, semua itu adalah wajib secara akal, syara’ dan fitrah agar ditujukan khusus kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata-mata. Juga secara akal, syara’ dan fitrah, tidak mungkin hal itu boleh ditujukan kepada selain-Nya. Teruskan dengan perbahasan berikutnya >> Tauhid Uluhiyyah. MembongkarKesesatan Ajaran Wahabi Yang Membagi Tauhid kepada 3 Bagian; tauhid uluhiyyah, tauhid Rububiyyah, tauhid Asma' Wash-shifa t. oleh AQIDAH AHLUSSUNNA H: ALLAH ADA TANPA TEMPAT Pendapat kaum Wahabi yang membagi tauhid kepada tiga bagian; tauhid Ulûhiyyah, tauhid Rubûbiyyah, dan tauhid al-Asmâ' Wa ash-Shifât adalah bid'ah batil yan menyesatka n.
Oleh Muhammad Farid Wajdi BLOGGURU – Apa itu Tauhid Rububiyah? Apa itu Tauhid Uluhiyah? Memahaminya adalah pelajaran dasar yang harus dipahami oleh Umat Islam. Di Pondok Pesantren, materi tentang ini dipelajari dalam Mapel Al-Qur’an-Hadits Semester 1 Kelas VII SMP/MTs. Tauhid adalah fondasi ajaran Islam yang paling mendasar. Mengesakan Allah SWT dan beribadah hanya kepada-Nya merupakan akidah asasi bagi setiap muslim. Tauhid menjadi pengikat hati dan pikiran hamba kepada Allah SWT, sekaligus sebagai dasar orientasi hamba dalam beribadah, beramal dan bermuamalah. Tauhid Rububiyah Secara bahasa, Tauhid Rububiyah merupakan bentukan dari dua kata, yaitu Tauhid dan Rububiyah. Tauhid berasal dari Bahasa Arab, “Tauhidan”, “Yuwahhidu”, dan “Wahhada” yang berarti mengesakan. Menurut istilah, Tauhid Rububiyah berarti mengesakan Allah, mengimani bahwa Allah SWT itu Maha Esa; tiada Tuhan selain-Nya; tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah tidak diduakan dan tidak pula memiliki mitra setara dengan-Nya. Allah itu tidak melahirkan atau tidak mempunyai istri; dan tidak pula dilahirkan atau mempunyai ayah. Allah itu benar-benar unik, tidak ada yang sesuatu pun yang setara dengan-Nya, sebagaimana telah disebutkan dalam Qs. Al-Ikhlas 1-4 Tauhid juga mengandung arti Menyatukan, bahwa setiap muslim harus menyatukan hati dan pikirannya dalam beribadah hanya kepada-Nya, karena menyadari dan memahami sepenuh hati bahwa tujuan hidup yang ditetapkan-Nya adalah beribadah, menyembah, dan mendedikasikan dirinya kepada-Nya, bukan kepada makhluk, sebagaimana telah disebutkan dalam Qs. Al-Dzariyat/51 56. Menyatukan, disini juga berarti menyatukan orientasi kehidupan, dengan meniati segala aktivitas hidup setiap muslim secara ikhlas semata-mata karena mengharap ridha Allah SWT, sebagaimana telah disebutkan dalam Qs. Al-An’am/6 162-163. Tauhid Uluhiyah Menurut bahasa, kata “Uluhiyyah” berarti sembahan, persembahan. Secara istilah, dapat dimaknai Tauhid Uluhiyyah sebagai kepercayaan bahwa hanya Allah sembahan yang benar Tuhan yang pantas disembah. Dengan demikian, Tauhid Uluhiyyah adalah mengesakan dzat Allah SwT melalui sikap dan perbuatan hamba dengan hanya beribadah kepada-Nya, karena yang paling berhak diibadahi, dimintai pertolongan adalah Allah yang Maha Esa. Implikasi dari tauhid mengesakan dan menyatukan adalah bahwa ibadah mukmin harus disatukan niat dan tujuannya murni ikhlas karena Allah, bukan karena mengharap pujian dari makhluk, dan bukan pula karena pencitraan riya’. Jika tauhid rububiyyah berkaitan dengan pengesaan Allah dari segi perbuatan dan sifat-Nya, maka tauhid uluhiyyah berkaitan langsung dengan pengesaan dan penghambaan Dzat Allah yang tidak berbilang, Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan tidak ada pula yang menyamai-Nya. Tauhid uluhiyyah yang murni menjadi syarat pengampunan dosa-dosa hamba. Artinya, sebesar apa pun dosa hamba, selama tidak menyekutukan Allah syirik, peluang untuk memperoleh ampunan dari Allah SwT sangat terbuka. Sebaliknya, orang yang melakukan syirik, dosanya tidak akan diampuni oleh-Nya, karena syirik merupakan dosa terbesar yang berkaitan “perselingkuhan teologis” terhadap dzat-Nya secara langsung. Jadi, keimanan dan keyakinan terhadap keesaan Allah, baik dari dzat, perbuatan dan sifat-Nya, merupakan pangkal segala kebaikan sekaligus merupakan kunci pembuka surga. Nabi saw bersabda “Barangsiapa yang akhir perkataannya la ilaha illa Allah, maka dia akan masuk surga” HR Muslim. * Muhammad Farid Wajdi, Guru Al-Qur’an-Hadits pada SMP/MTs Ponpes Modern Putri IMMIM Minasatene-Pangkep.
x2i3vw.
  • s4301ss8qy.pages.dev/90
  • s4301ss8qy.pages.dev/544
  • s4301ss8qy.pages.dev/3
  • s4301ss8qy.pages.dev/42
  • s4301ss8qy.pages.dev/460
  • s4301ss8qy.pages.dev/206
  • s4301ss8qy.pages.dev/341
  • s4301ss8qy.pages.dev/460
  • pertanyaan tentang tauhid rububiyah